• Sat, Nov 2025

Anis Hidayah Soroti Banyak Potensi Pelanggaran HAM di Era KUHAP Baru

Anis Hidayah Soroti Banyak Potensi Pelanggaran HAM di Era KUHAP Baru

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah (foto: metrotv.com)


JAKARTA, SERANTAU MEDIA - Pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHAP (RKUHAP) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 18 November 2025, masih menuai kontroversi dan sorotan berbagai kalangan. 

Salah satu yang memberikan catatan kritis adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga ini mengingatkan adanya berbagai potensi pelanggaran HAM dalam implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. 

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menegaskan pihaknya menghormati kewenangan legislasi DPR, namun menyoroti sejumlah ketentuan yang dinilai berisiko terhadap perlindungan hak warga negara dalam proses penegakan hukum.

“Kami menghormati kewenangan DPR yang telah mengesahkan RKUHAP dalam rapat paripurna. Namun sejumlah ketentuan masih mengandung potensi pelanggaran HAM yang harus segera diperhatikan,” ujar Anis dalam keterangannya pada Sabtu (22/11).

Komnas HAM menyebut hasil kajian atas RKUHAP tahun 2023 dan 2025 menemukan 11 isu penting yang harus dijamin selaras dengan kewajiban negara dalam pemajuan dan perlindungan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

Salah satu perhatian utama Komnas HAM adalah kewenangan penyelidikan dan penyidikan, terutama penggunaan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyadapan.

“Kewenangan upaya paksa harus digunakan dengan indikator yang jelas dan terukur, serta diawasi secara ketat. Tanpa itu, potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM terhadap saksi, tersangka, maupun korban sangat besar,” tegas Anis seperti dikutip dari mediaindonesia.

Komnas HAM juga menilai perlu adanya mekanisme keberatan bagi pihak yang dirugikan oleh tindakan upaya paksa, baik melalui institusi penegak hukum maupun peradilan. Selain itu, Komnas HAM menilai mekanisme praperadilan dalam KUHAP masih hanya memeriksa aspek formil, bukan materiil.

“Selama ini yang paling banyak menjadi sorotan adalah aspek materiil, seperti intimidasi, kekerasan, dan penyiksaan dalam pemeriksaan. Namun hal itu tidak menjadi pertimbangan hakim praperadilan,” ujar Anis.
Ia menilai mekanisme yang ada “tidak mampu mengontrol kualitas penegakan hukum secara efektif.”

Komnas HAM juga turut menyoroti perluasan alat bukti, terutama frasa “segala sesuatu yang diperoleh secara legal” yang dinilai multitafsir dan berpotensi membuka ruang penggunaan bukti ilegal.

“Frasa itu terlalu luas dan bisa disalahgunakan, misalnya untuk melegitimasi hasil penyadapan yang tidak sah,” kata Anis.

Untuk itu, Komnas HAM meminta adanya mekanisme admissibility test untuk memastikan alat bukti diperoleh secara sah serta sanksi tegas terhadap penggunaan bukti dari penyiksaan atau penyadapan ilegal.(milo/red)