SERANTAUMEDIA - Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menanggapi regulasi baru Jakarta terkait poligami yang tertuang dalam Peraturan Gubernur No. 2 Tahun 2025.
Peraturan tersebut menuai kontroversi karena memperbolehkan pegawai negeri sipil untuk berpoligami.
Namun, Bima menjelaskan bahwa peraturan tersebut dimaksudkan untuk menekan angka perceraian di kalangan pegawai pemerintah dengan memberlakukan prosedur pernikahan dan perceraian yang lebih ketat.
"Peraturan ini tidak hanya tentang poligami, tetapi juga mengatur pedoman yang lebih ketat tentang perkawinan dan perceraian untuk menjaga dinamika keluarga pegawai negeri sipil dan mencegah keputusan yang tergesa-gesa," kata Bima di Balai Kota Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
Peraturan baru ini memperkuat peraturan yang sudah ada, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 dan perubahannya, PP No. 45 Tahun 1990.
Izin poligami kini memerlukan berbagai lapis persetujuan, termasuk persetujuan dari atasan langsung dan verifikasi pengadilan, untuk memastikan bahwa semua pihak—terutama istri—memberikan persetujuan tanpa paksaan.
“Misalnya, jika istri memberi izin, harus diverifikasi untuk memastikan bahwa izin itu diberikan secara sukarela. Persetujuan pengadilan juga merupakan persyaratan penting,” katanya.
Peraturan tersebut juga fokus pada perlindungan hak istri dan anak pegawai negeri sipil (ASN). Bima menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak dimaksudkan untuk mempersulit masalah, tetapi untuk memastikan keluarga tidak dirugikan oleh keputusan impulsif.
Advokasi untuk Pengawasan yang Lebih Baik
Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta mengatakan meskipun peraturan tersebut bertujuan untuk mengekang pernikahan yang tidak sah dan mengurangi angka perceraian, sebagian besar kasus poligami di kalangan pegawai negeri sipil tidak disebabkan oleh alasan yang sah sebagaimana diatur dalam undang-undang—seperti ketidakmampuan pasangan untuk memenuhi tugas perkawinan atau ketidaksuburan—melainkan merupakan hasil dari hubungan di luar nikah.
Achmad mengkritik penerbitan peraturan yang tiba-tiba itu, dengan menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak dikomunikasikan atau dikonsultasikan terlebih dahulu kepada publik, sehingga membuat banyak pihak terkejut.
Ia mencontohkan banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh PNS untuk mendapatkan izin poligami, termasuk mendapatkan persetujuan dari pasangan pertama, persetujuan pengadilan, dan keterbukaan pendapatan kepada atasan.
Meski aturan yang ketat tersebut dapat menjadi pencegah, Achmad mengingatkan bahwa penegakan hukum yang lemah dapat menyebabkan PNS mengabaikan proses formal, sehingga peraturan tersebut tidak efektif.
Ia mengatakan pengawasan yang tepat dan penegakan hukum yang transparan sangat penting untuk memastikan peraturan tersebut mencapai tujuannya. Achmad juga menekankan bahwa pegawai negeri sipil harus menjadi panutan bagi masyarakat, karena tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, peraturan tersebut berisiko dirusak.
Peraturan tersebut juga menarik perhatian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Komisioner Siti Aminah Tardi menyoroti masalah pernikahan poligami yang tidak tercatat, yang sering kali melanggar pedoman resmi.
"Poligami yang dilakukan melalui prosedur yang benar, seperti memperoleh persetujuan dari istri, wali, dan pengadilan, kemungkinan besar akan diawasi secara efektif," jelas Siti dalam diskusi yang disiarkan televisi pada hari Minggu.
Siti menghimbau agar PNS dan keluarganya diberikan edukasi yang lebih baik tentang aturan perkawinan, mulai dari rekrutmen. "Penting bagi PNS dan pasangannya untuk memahami hak-haknya dan tata cara pelaporan pelanggaran," katanya.
Siti berharap regulasi baru ini dapat mendorong pengawasan yang efektif, mencegah penyalahgunaan, dan menjaga kepercayaan publik terhadap PNS. *** (dmh)