SERANTAUMEDIA - Mediator mengumumkan pada hari Rabu bahwa Israel dan Hamas telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata di Jalur Gaza, yang menandai titik balik potensial dalam salah satu konflik paling merusak di kawasan tersebut.
Kesepakatan tiga tahap tersebut mencakup pembebasan puluhan sandera yang ditawan Hamas, pembebasan ratusan tahanan Palestina dari penjara Israel, dan pemulangan warga Palestina yang mengungsi ke rumah mereka.
Kesepakatan ini juga menjanjikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang telah hancur akibat perang selama 15 bulan.
Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengonfirmasi gencatan senjata akan dimulai pada hari Minggu, sambil memperingatkan bahwa keberhasilannya bergantung pada upaya "itikad baik" dari kedua belah pihak. Pengumuman ini menyusul perundingan selama berminggu-minggu di Doha.
Dari Washington, Presiden AS Joe Biden memuji kesepakatan tersebut, dan memuji diplomasi intensif yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Biden mengatakan bahwa kelanjutan gencatan senjata bergantung pada negosiasi yang sedang berlangsung menuju perdamaian abadi.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan bahwa kesepakatan tersebut masih belum lengkap, dengan alasan masalah yang belum terselesaikan mengenai daftar tahanan Palestina yang akan dibebaskan. "Kami akan menyelesaikan tanggapan kami setelah rinciannya selesai dikerjakan sepenuhnya," kata Netanyahu, sambil mengakui keterlibatan Biden dan Presiden terpilih Donald Trump dalam memajukan pembicaraan tersebut.
Trump merayakan kesepakatan tersebut, dengan mengunggah di platform media sosial Truth Social miliknya: “KAMI PUNYA KESEPAKATAN UNTUK PARA SANDERA DI TIMUR TENGAH. MEREKA AKAN SEGERA DIBEBASKAN. TERIMA KASIH!”
Pemerintahan koalisi Netanyahu menghadapi tekanan dari sekutu garis keras yang mengancam akan menarik dukungan atas rencana pembebasan tahanan.
Sementara itu, para pemimpin oposisi telah mengisyaratkan dukungan mereka terhadap gencatan senjata, yang selanjutnya dapat membentuk kembali politik Israel.
Di Gaza, penduduk yang mengungsi merayakan pengumuman tersebut, meskipun banyak yang menyuarakan kekhawatiran tentang apakah gencatan senjata akan bertahan.
Abed Radwan, seorang ayah Palestina dengan tiga anak, menyebut kesepakatan gencatan senjata sebagai "hari terbaik dalam hidup saya dan kehidupan warga Gaza.”
Hamas menyebut gencatan senjata ini sebagai bukti “ketahanan dan perlawanan” Palestina.
PBB dan organisasi bantuan internasional memperkirakan sekitar 90 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi, seringkali beberapa kali. Mereka mengatakan puluhan ribu rumah telah hancur dan rumah sakit hampir tidak berfungsi.
Para ahli telah memperingatkan bahwa kelaparan mungkin sedang terjadi di Gaza utara.
Para mediator dari Mesir, Qatar, dan AS akan bertemu di Kairo untuk membahas penerapan perjanjian tersebut. Kesepakatan tersebut, jika berhasil, dapat membangun landasan bagi negosiasi yang lebih luas tentang masa depan Gaza pascaperang, termasuk upaya rekonstruksi dan tata kelola.
Masih ada pertanyaan mengenai hasil jangka panjang, termasuk apakah Hamas akan melepaskan kendali atas Gaza dan peran apa yang mungkin dimainkan oleh Otoritas Palestina atau aktor internasional dalam membangun kembali wilayah tersebut.
Pemerintah Netanyahu telah mengindikasikan akan mempertahankan kendali keamanan atas Gaza, sebuah sikap yang mempersulit prospek solusi dua negara.
Jumlah korban sipil di Gaza—yang menurut pejabat kesehatan setempat telah melampaui 46.000 kematian—telah menuai kecaman luas, termasuk dari sekutu Israel.
Mahkamah Internasional sedang menyelidiki tuduhan yang diajukan oleh Afrika Selatan bahwa Israel telah melakukan genosida.
Mahkamah Kriminal Internasional, badan terpisah yang juga berkantor pusat di Den Haag, telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu, mantan menteri pertahanannya, dan seorang komandan Hamas atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terkait dengan perang tersebut. *** (dmh)