Ditulis oleh Dilah Rifqi
SETIAP zaman memiliki tantangannya sendiri. Dahulu, anak-anak Indonesia diajarkan untuk rajin belajar, menghormati orang tua, dan tekun beribadah sebagai fondasi menjadi individu yang sukses.
Namun, di era digital seperti sekarang, apakah kebiasaan-kebiasaan ini masih relevan, atau justru telah kedaluwarsa?
Seratus hari pemerintahan yang baru telah berjalan, dan di antara berbagai evaluasi, sektor pendidikan menjadi sorotan.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei, Kemendikdasmen menjadi salah satu kementerian yang menunjukkan sikap positif dalam 100 hari kerja pertama.
Tidak hanya itu, Mendikdasmen Abdul Mu’ti juga turut diapresiasi dan terpilih menjadi salah satu menteri dengan kinerja baik.
Langkah awal yang menjanjikan, tetapi pertanyaannya: apakah strategi yang diterapkan sudah cukup untuk mencetak generasi unggul?
Jika melihat dari perspektif yuridis, kebijakan pendidikan di Indonesia telah mengakomodasi penguatan karakter dalam berbagai regulasi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan pentingnya pendidikan karakter sebagai bagian integral dalam membentuk generasi masa depan.
Secara historis, bangsa ini pernah memiliki tokoh-tokoh besar yang lahir dari nilai-nilai disiplin dan kerja keras, seperti Ki Hajar Dewantara dan Bung Hatta. Tetapi, apakah generasi hari ini masih memiliki nilai-nilai yang sama?
Secara filosofis, kebiasaan baik harus menjadi kebiasaan yang melekat, bukan sekadar formalitas yang dipaksakan.
John Dewey, seorang filsuf pendidikan, pernah mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya persiapan untuk hidup, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri.
Oleh karena itu, tujuh kebiasaan anak hebat harus lebih dari sekadar jargon; ia harus menjadi kebiasaan yang benar-benar ditanamkan sejak dini.
Namun, secara sosiologis, kita melihat fenomena yang cukup mengkhawatirkan. Anak-anak saat ini lebih akrab dengan gadget dibandingkan dengan interaksi sosial yang sehat.
Berdasarkan laporan Childwise (2023), rata-rata anak di Indonesia menghabiskan lebih dari lima jam per hari di depan layar.
Ini menjadi tantangan besar bagi para orang tua dan pendidik untuk memastikan bahwa kebiasaan baik tetap tertanam di tengah arus digitalisasi yang tak terbendung.
Secara medis, kebiasaan baik seperti tidur yang cukup, pola makan sehat, dan aktivitas fisik yang rutin juga semakin tergerus. Studi dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa tingkat obesitas pada anak meningkat tajam dalam lima tahun terakhir.
Hal ini tentu menjadi alarm bahwa pola hidup sehat harus menjadi bagian dari kebiasaan anak Indonesia, agar mereka tumbuh menjadi individu yang produktif dan berdaya saing.
Lalu, bagaimana strategi mewujudkan tujuh kebiasaan anak hebat di era yang serba cepat ini? Jawabannya adalah kolaborasi lintas sektor.
Sekretaris Jenderal Kemendikdasmen, Suharti, menegaskan bahwa pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah.
“Kami menyadari bahwa membangun generasi emas Indonesia memerlukan dukungan dari semua pihak. Sinergi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan media adalah elemen penting dalam memastikan keberhasilan gerakan ini,” ujar Suharti.
Pola asuh keluarga menjadi fondasi utama. Orang tua harus menjadi role model bagi anak-anaknya, bukan hanya menyuruh tetapi juga memberi contoh nyata.
Sekolah, sebagai institusi pendidikan, harus lebih kreatif dalam menanamkan nilai-nilai kebiasaan baik, misalnya melalui metode pembelajaran berbasis pengalaman.
Masyarakat juga harus mengambil peran, baik melalui komunitas maupun kampanye sosial yang mengedukasi pentingnya membentuk karakter sejak dini.
Tidak hanya itu, pemerintah harus terus memperkuat kebijakan yang mendukung pendidikan karakter. Program seperti Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang telah berjalan harus dievaluasi dan diperbaharui sesuai dengan tantangan zaman.
Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak, kebiasaan baik bukan hanya sekadar teori, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan anak-anak Indonesia.
Dampak dari tujuh kebiasaan anak hebat dalam mewujudkan Indonesia emas tentu tidak bisa dianggap remeh.
Jika generasi muda memiliki karakter yang kuat, mereka akan mampu menghadapi tantangan global dengan lebih percaya diri.
Tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga memiliki mental yang tangguh, integritas yang tinggi, serta kemampuan untuk berkontribusi dalam membangun bangsa.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah: apakah tujuh kebiasaan anak hebat masih laku atau sudah kedaluwarsa? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita menerapkannya.
Jika nilai-nilai ini hanya menjadi slogan tanpa implementasi yang nyata, maka ia akan menjadi sekadar nostalgia masa lalu.
Tetapi jika kita mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tujuh kebiasaan ini justru akan menjadi kunci keberhasilan menuju Indonesia Emas 2045.
Sebagai bangsa, kita tidak boleh menyerah pada arus perubahan yang semakin cepat. Kita harus memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara karakter.
Karena sejatinya, sukses itu bukan soal keberuntungan semata, tetapi juga hasil dari kebiasaan baik yang dipupuk sejak dini.