SERANTAUMEDIA - Kementerian Kelautan dan Perikanan pada hari Rabu mengumumkan rencananya untuk membongkar penghalang bambu yang membentang sepanjang lebih dari 30 kilometer di sepanjang pantai utara Jawa Barat.
Penghalang tersebut mengelilingi 16 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang, yang menghambat pergerakan kapal nelayan di daerah tersebut.
Masih belum jelas siapa yang mengizinkan pembangunan penghalang tersebut, yang telah dinyatakan oleh kementerian sebagai pelanggaran peraturan bentang laut.
Halid Jusuf, Direktur Divisi Pengawasan Sumber Daya Maritim di Kementerian Perhubungan, mengatakan, penghapusan hambatan tersebut akan membutuhkan sumber daya yang besar, termasuk mesin berat dan tenaga kerja yang signifikan.
“Ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kelautan, tetapi upaya terkoordinasi yang melibatkan banyak kementerian. Kami akan bekerja sama erat untuk menentukan langkah selanjutnya,” kata Halid saat meninjau palang pintu di Distrik Kronjo. Ia menambahkan bahwa penyelidikan sedang dilakukan untuk mengidentifikasi individu atau organisasi yang bertanggung jawab atas palang pintu ilegal tersebut.
"Kami belum dapat memastikan siapa dalang di balik penghalang ini karena penyelidikan masih berlangsung," katanya.
Rencana Kementerian untuk mencabut penghalang tersebut bertujuan untuk memulihkan arus lalu lintas laut dan mengatasi masalah hukum dan lingkungan terkait keberadaan penghalang tersebut, kata Halid.
Pada hari Minggu, sebuah organisasi non-pemerintah bernama Jaringan Rakyat Pantura mengaku bertanggung jawab atas pembangunan penghalang bambu tersebut.
Sandi Martapraja, koordinator jaringan tersebut, berpendapat bahwa penghalang tersebut dipasang untuk melindungi lingkungan dan menyediakan tempat berkembang biak bagi kerang hijau dan sumber daya hayati laut lainnya. Selain itu, ia mengklaim penghalang tersebut berfungsi sebagai pemecah gelombang.
"Pembangunan tanggul itu didanai secara mandiri oleh nelayan setempat," kata Sandi kepada kantor berita Antara. Namun, klaim ini menimbulkan skeptisisme, karena pembangunan tanggul yang begitu besar akan sangat mahal bagi nelayan setempat, yang banyak mengeluhkan keberadaan tanggul tersebut.
Masalah ini awalnya disorot oleh Eli Susiyanti, Kepala Dinas Kelautan Provinsi Banten. Ia menggambarkan penghalang itu setinggi enam meter, diperkuat dengan jaring, dan ditambatkan dengan karung pasir. *** (dmh)