• Thu, Feb 2025

Industri Indonesia Minta Kebijakan Subsidi Gas Diperpanjang

Industri Indonesia Minta Kebijakan Subsidi Gas Diperpanjang

Menghadapi persaingan yang semakin ketat dari Tiongkok dan India, para pemimpin industri Indonesia mendesak pemerintah untuk memperpanjang kebijakan subsidi gas alamnya, yang akan berakhir pada 31 Desember 2024.


SERANTAUMEDIA - Menghadapi persaingan yang semakin ketat dari Tiongkok dan India, para pemimpin industri Indonesia mendesak pemerintah untuk memperpanjang kebijakan subsidi gas alamnya, yang akan berakhir pada 31 Desember 2024.

Program HGBT, yang diperkenalkan pada tahun 2020, menawarkan harga gas bersubsidi kepada tujuh sektor industri utama — termasuk pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet — dengan tarif $6 per MMBTU. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah penting untuk menjaga daya saing di pasar.

"Jika pemerintah tidak memperpanjang kebijakan ini, industri akan terpuruk," kata Budi Susanto, Direktur Utama Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), baru-baru ini.

Harga gas alam di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. 

Saat ini, perusahaan diharuskan membayar kepada perusahaan gas milik negara, Perusahaan Gas Negara (PGAS), harga gas hasil regasifikasi sebesar $16,67 per MMBTU mulai 1 Januari hingga 31 Maret 2025. 

Sebaliknya, harga gas di Malaysia adalah $4,5 per MMBTU, Thailand $5,5 per MMBTU, dan Vietnam $6,39 per MMBTU.

Kebijakan harga gas yang lebih rendah akan secara signifikan meningkatkan efisiensi biaya bagi industri petrokimia, sehingga memungkinkannya untuk berfokus pada perluasan kapasitas produksi dan menarik investasi.

Budi juga menegaskan bahwa perpanjangan kebijakan HGBT akan memberikan dorongan positif bagi perekonomian nasional. 

"Jika kebijakan HGBT tidak diperpanjang, industri akan menghadapi tantangan yang lebih besar, dan target pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen akan sulit tercapai," imbuhnya.

Ketua Forum Industri Pengguna Gas Indonesia (FIPGB) Yustinus Gunawan mengemukakan kekhawatirannya terhadap tingginya harga gas yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2025. 

"Persoalan ini harus segera disikapi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan masukan dari Kementerian Perindustrian," katanya.

Ketua Umum Asosiasi Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto meminta pemerintah memperpanjang kebijakan HGBT untuk mencegah PHK. 

"Hal ini akan semakin menggerogoti daya saing kita, apalagi dengan ancaman produk impor dari China, India, dan Vietnam," jelasnya.

Edy menyoroti pentingnya kebijakan HGBT bagi industri keramik yang sangat boros energi. Gas menyumbang sekitar 30 persen dari biaya produksi, dan tidak ada pengganti yang layak. 

"Keberadaan kebijakan HGBT telah memberikan efek berganda yang signifikan, seperti investasi baru, peningkatan lapangan kerja, dan kontribusi terhadap pendapatan pajak nasional," imbuhnya.

Pada awal penerapan kebijakan HGBT, khususnya di Jawa Barat pada tahun 2021 dan 2022, biaya energi sebagai persentase dari total biaya produksi dikurangi dari 30 persen menjadi 26 persen. 

Namun, manfaat ini tidak terlihat pada industri yang berlokasi di Jawa Timur karena adanya kuota dalam kontrak gas.

Ia juga mengkritik tingginya harga gas hasil regasifikasi, yang disebutnya sebagai yang termahal di Asia Tenggara. 

"Dengan kebijakan ini, harga gas Indonesia menjadi yang tertinggi di kawasan ini," katanya. *** (dmh)