SERANTAUMEDIA.ID - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) tidak bisa dihapuskan karena sangat krusial dalam pemberantasan korupsi dan dilindungi undang-undang.
Pernyataannya itu menanggapi Johanis Tanak, calon pimpinan KPK, yang berjanji menghapus praktik tersebut jika terpilih.
OTT adalah operasi penyamaran untuk menangkap tersangka korupsi secara langsung, sering kali selama pertukaran suap.
Didukung oleh pengawasan dan bukti seperti penyadapan telepon dan catatan keuangan, operasi ini menciptakan kasus yang kuat dengan celah hukum yang minimal.
Tersangka ditahan dan diinterogasi dalam waktu 24 jam untuk menentukan dakwaan.
Meskipun OTT meningkatkan upaya antikorupsi dan kepercayaan publik, operasi ini menghadapi kritik karena dugaan bias politik.
Alexander mengatakan, meski operasi semacam itu tidak diatur secara tegas dalam UU KPK, komisi tersebut diberi mandat untuk melakukan penyelidikan, penuntutan, dan tindakan penegakan hukum, sedangkan penangkapan langsung menjadi bagian integral operasinya.
Juru bicara KPK Tessa Mahardhika menegaskan sikap tersebut dengan mengatakan OTT tetap dapat dilakukan sepanjang ada bukti atau indikasi tindak pidana yang cukup.
Pembelaan itu disampaikan di tengah usulan kontroversial Johanis Tanak untuk menghapus OTT jika ditunjuk sebagai pimpinan KPK berikutnya.
Johanis berpendapat bahwa OTT tidak sejalan dengan definisi hukum "tertangkap basah" sebagaimana didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ia mengklaim bahwa penggerebekan KPK melibatkan perencanaan sebelumnya, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menyebutkan persiapan semacam itu.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, "tertangkap basah" mengacu pada penangkapan seseorang saat melakukan tindak pidana, segera setelah tindak pidana, atau segera setelahnya ketika mereka diidentifikasi oleh masyarakat sebagai pelaku.
Hal ini juga berlaku ketika, segera setelah itu, mereka ditemukan memiliki barang-barang yang diduga kuat telah digunakan untuk melakukan tindak pidana, yang menunjukkan keterlibatan mereka baik sebagai pelaku, kaki tangan, atau seseorang yang membantu dalam tindakan tersebut.
Calon lainnya, Agus Joko Pramono, juga mengalihkan fokus dari OTT, menekankan pada pengembangan kasus ketimbang penangkapan mendadak. Ia menggambarkan OTT sebagai "bonus" yang seharusnya terjadi hanya ketika bukti hampir lengkap.
"Saya akan fokus pada pengembangan kasus. Jika penangkapan mendadak terjadi di tengah jalan, itu bonus, tetapi itu seharusnya hanya terjadi saat kita mendekati akhir penyelidikan dan memiliki cukup bukti," katanya.
Aguis juga mengkritik operasi tangkap tangan tahap awal karena hanya menangani kasus suap langsung dan tidak mengungkap korupsi sistemik.
Ia menganjurkan agar memprioritaskan kasus berskala besar yang dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"KPK harus fokus pada kasus-kasus besar yang teridentifikasi dalam laporan BPK, yang sering kali mengindikasikan pelanggaran hukum. Selama saya di BPK, kami menerbitkan lebih dari seribu laporan audit setiap tahun, banyak di antaranya menyoroti isu-isu yang siap diselidiki KPK," kata Pramono.
Calon pimpinan KPK lainnya yang menjalani uji kelayakan dan kepatutan antara lain Ida Budhiati, Ahmad Alamsyah Saragih, Djoko Poerwanto, dan Ibnu Basuki Widodo. ***