PEKANBARU, SERANTAUMEDIA - Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) rata-rata nasional 2025 sebesar 6,5%, mendapat penolakan dari kalangan pengusaha.
Salah satunya seperti yang dirasakan oleh Yusuf Simanjuntak, pengusaha yang bergerak di bidang tekstil di kota Pekanbaru.
"Kalau kami dari sektor tekstil dan produk tekstil, kenaikan 6,5% ini tentu akan menjadi beban tambahan di tengah tekanan yang sangat besar. Terlebih di sektor hilir, dimana 25% dalam struktur biayanya adalah tenaga kerja," kata Yusuf kepada SerantauMedia melalui saluran telepon pada Senin, 9 Desember 2024.
Ia mengungkapkan angka 6,5% dinilai ketinggian dan memberatkan pelaku usaha.
"Siap-siap aja kolaps, berat sangat berat," keluh Yusuf.
Menurut Yusuf seharusnya pemerintah bisa melihat kondisi pelaku usaha saat ini.
"Pengukuran seharusnya tidak dilakukan secara general tetapi per sektoral. Ini bikin kami para pengusaha teriak," pungkasnya.
Dari sisi pengamat ekonomi di Riau, Dahlan Tampubolon menilai bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan UMP tersebut adalah hal yang sudah patut dilakukan.
"Saya setuju dengan kebijakan kenaikan upah minimum nasional 6,5%, di saat ekonomi Indonesia pada TW III 2024 ini tumbuh sebesar 4,95% (yoy) atau sebesar 5,03% (ctc) dan dari sisi inflasi masih relatif baik yaitu 1,7%," paparnya ketika memberi pandangan selaku pengamat ekonomi.
Menurutnya, bila sudah ditetapkan dan dilaksanakan, maka kenaikan UMP ini tentu akan memberi dampak bagi daya beli pekerja penerima upah.
"Diharapkan keadaan ekonomi ini akan semakin baik kinerjanya pada 2025 sehingga kenaikan upah akan meningkatkan daya beli pekerja dan dapat meningkatkan kesejahteraan dan standar hidup mereka," jelasnya.
Namun kenaikan upah minimum yang lumayan tinggi ini ditelaah Dahlan bisa memunculkan ketimpangan jika tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas.
"Bagi aktivitas perusahaan kenaikan upah minimum ini akan mendorong biaya operasional perusahaan, yang dapat menekan marjin keuntungan dan juga mendorong naiknya harga sebagai pemicu cost push inflation," jelasnya.
Dengan ditetapkannya kebijakan tersebut, maka sektor usaha mungkin akan berusaha meningkatkan produktivitas untuk mengompensasi kenaikan upah.
"Misalnya dengan investasi teknologi atau efisiensi proses. Kalau tanpa adanya peningkatan teknologi dan efisiensi berproduksi, tentunya kenaikan upah justru mengurangi daya saing perusahaan," ulas Dahlan.
Ia juga melihat kenaikan upah bagi Riau, dapat mendorong peningkatan harga barang dan jasa di daerah tersebut (inflasi).
"Walaupun kita ketahui bahwa inflasi di Riau umumnya karena volatile food," jelasnya.
"Namun sebagai sebuah kebijakan (administered prices), peningkatan biaya produksi dan biaya hidup akibat naiknya upah, akan digeser ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga," lanjutnya.
Meskipun demikian, inflasi ini dapat juga terjadi karena faktor lain seperti permintaan, pasokan, dan kebijakan moneter di Riau.
Secara keseluruhan, kenaikan upah memiliki dampak positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan secara cermat oleh pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya.
"Diperlukan pendekatan yang seimbang untuk menjaga kesejahteraan pekerja, daya saing perusahaan, dan stabilitas ekonomi regional," jelasnya menutup pembahasan.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung yang melihat bahwa kebijakan kenaikan upah tersebut sebagai sesuatu yang relatif.
"Kenaikan itu bersifat relatif, bukan absolut, jadi hal yang wajar jika ada kenaikan setiap tahun dan hal itu sudah berlangsung di masa kepresidenan sebelumnya," ulas Gulat.
"Jadi kami dari APKASINDO sangat mendukung, asalkan sektor industri dan sektor lain bisa terjaga agar tetap kondusif misal dengan regulasi yang mendukung," lanjut pria yang membawahi asosiasi petani sawit di 25 provinsi se Indonesia ini.
Ia juga menilai dengan usainya pesta politik tahun 2024 secara kondusif, maka akan menjadi nilai positif bagi para investor.
"Saya pikir dengan selesainya urusan Politik dari Pilpres, Pileg, Pilkada yang berlangsung secara damai dan demokratis tentu akan meyakinkan dunia bahwa Indonesia negara yang aman untuk investasi dan demokratis," jelas Gulat.
Harapan kami petani sawit cukup sederhana yakni supaya pemerintah terkait, segera mempaduserasikan semua berkenaan regulasi yang NEGATIF terhadap Hulu-Hilir Sawit," lanjutnya.
Ini disampaikannya karena sawit merupakan komoditi strategis yang membutuhkan perhatian serius.
"Karena sawit sudah menjadi komoditi strategis jadi harus menjadi perhatian serius," ucapnya.
Gulat Manurung mengharapkan bentuk perhatian pemerintah terhadap aspek perkebunan kelapa sawit, bisa direlisasikan dalam beberapa tindakan.
"Misalnya segera membentuk Badan Otoritas Sawit Indonesia (BOSI) supaya terkait urusan sawit diurus satu Badan yg langsung dibawah Presiden," katanya.
Ia sangat yakin, dengan pembentukan badan otoritas tersebut, negara akan tercengang lewat manfaatnya.
"Negara akan mendapatkan Pajak pemasukan paling tidak 2 kali lipat dari sekarang. Ini karena semua data dibuka disana sehingga negara akan memiliki satu data kedepannya," papar dia.
"Bukan seperti sekarang semua orang bisa bicara data tentang sawit padahal tidak ada yang sama dan anehnya malah kita percaya ke data yg diterbitkan oleh negara asing melalui kelembagaan non pemerintah," tutupnya.
Seperti diketahui, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Riau (Disnakertrans) telah melaksanakan sidang Dewan Pengupahan Provinsi Riau.
Boby Rachmat, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Riau mengatakan, bahwa berdasarkan Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 tentang Upah Minimum Tahun 2025, UMP Riau untuk tahun 2025 ditetapkan dan direkomendasikan sebesar Rp3.508.776,22.***
Penulis: Reynold Manurung