SERANTAUMEDIA - Masuknya Indonesia ke blok BRICS baru-baru ini diharapkan dapat memperkuat ekonominya secara signifikan dan memperluas pengaruhnya secara global, menurut ekonom Tiongkok Song Qinghui.
Song melihat keanggotaan Indonesia sebagai langkah penting menuju kemajuan ekonomi dan partisipasi yang lebih besar dalam urusan global.
“Seluruh perekonomian Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan dalam hal pertumbuhan dan transformasi. Misalnya, tingkat pertumbuhan ekonomi tidak memenuhi target yang diharapkan. Targetnya 8 persen, tetapi saat ini, angkanya berada di angka 4,9 persen, yang cukup jauh,” kata Songdalam wawancara dengan kantor berita video Viory pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Menurut Song, pembukaan pasar bagi negara-negara BRICS akan menjadi faktor kunci bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Satu-satunya cara agar ekonomi tumbuh adalah dengan membuka pasar bagi negara-negara BRICS. Begitu produk dan perdagangannya dapat masuk ke negara-negara BRICS, pertumbuhan ekonomi akan mengikuti,” katanya.
Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara dan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, sudah memiliki pengaruh yang signifikan di kawasan tersebut.
Namun, Song menegaskan bahwa pengaruh internasionalnya belum sebanding dengan statusnya. “Dengan bergabung dalam organisasi BRICS, Indonesia ingin meningkatkan pengaruh dan suaranya di pasar internasional,” kata Song.
Meskipun menjadi pemimpin regional, Song mengakui bahwa sektor industri Indonesia tertinggal dari negara-negara BRICS lainnya seperti Tiongkok dan Rusia.
“Saat ini, perekonomian Indonesia masih berbasis pada jasa dan industri. Namun, dibandingkan dengan Rusia dan Tiongkok, sektor industrinya relatif kurang berkembang,” kata Song.
Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa meskipun Indonesia merupakan produsen nikel utama, posisi negara ini dalam rantai industri global masih berada di posisi yang lebih rendah.
Song meyakini bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS akan mempererat hubungannya dengan negara-negara anggota blok tersebut, khususnya di bidang-bidang seperti pengembangan industri.
“Di sektor nikel, Tiongkok dapat memberikan dukungan teknis untuk membantu Indonesia meningkatkan rantai industri nikelnya, baik di hulu maupun hilir,” kata Song.
Ia menambahkan bahwa Rusia dapat membantu Indonesia dalam memperkuat kemampuan industrinya. “Di bidang industrial deep processing, Rusia dapat membantu Indonesia dalam memperluas dan memperkuat kehadirannya di seluruh rantai industri,” imbuhnya.
Song juga menunjukkan bahwa teknologi energi baru dan kendaraan listrik Tiongkok dapat memainkan peran penting dalam masa depan ekonomi Indonesia.
“Teknologi energi baru dan kendaraan listrik Tiongkok, di antara produk-produk lainnya, juga dapat memasuki pasar Indonesia,” katanya.
Ia mengatakan bahwa integrasi ekonomi tersebut akan memungkinkan Tiongkok untuk lebih memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara dan secara global.
“Dengan sekutu seperti itu, Tiongkok dapat lebih memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara dan secara global,” kata Song.
Membahas dampak regional yang lebih luas, Song menyoroti keselarasan antara visi ASEAN dan tujuan BRICS.
“Visi ASEAN sejalan dengan visi BRICS, jadi bergabung dengan BRICS akan menguntungkan kedua belah pihak,” kata Song.
Ia menambahkan bahwa keanggotaan Indonesia dapat membantu mendorong inklusivitas dan kerja sama di seluruh pasar negara berkembang.
Namun, Song juga mengakui dominasi global AS dan mata uangnya yang terus berlanjut. "Pemandangan politik global masih didominasi oleh AS, dan saat ini mustahil untuk mengubahnya.
Meskipun pengaruh BRICS tumbuh dari hari ke hari, dunia masih merupakan sistem unipolar dengan dolar AS," katanya.
Kendati demikian, Song menyatakan optimismenya tentang masa depan.
“Negara-negara BRICS telah mendirikan Bank Pembangunan Baru dan menciptakan banyak mekanisme untuk de-dolarisasi,” katanya. “Saya yakin bahwa begitu mekanisme ini terbentuk, dunia akan menjadi lebih beragam dan inklusif,” pungkas Song.
Menanggapi potensi kekhawatiran tentang keanggotaan BRICS Indonesia yang memengaruhi hubungan dagangnya dengan AS, Mari Elka Pangestu, wakil ketua Badan Ekonomi Nasional Indonesia, meyakinkan publik bahwa kebijakan luar negeri Indonesia adalah "bebas dan aktif."
Ia menekankan bahwa Indonesia dapat bermitra dengan negara mana pun tanpa merasa perlu memihak atau bergabung dengan blok militer.
"Tidak perlu khawatir. Kami memiliki kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, yang memungkinkan kami untuk bermitra dengan siapa pun. Kami tidak mengganggu kepentingan AS dan bahkan dapat menjadi jembatan antara negara berkembang dan negara maju," kata Mari dalam jumpa pers baru-baru ini.
Ia juga membahas masalah de-dolarisasi, dengan mengatakan bahwa peralihan dari dolar merupakan bagian dari evolusi yang tak terelakkan dalam keuangan internasional.
“Merupakan hak setiap negara untuk memilih mata uang yang mereka gunakan untuk bertransaksi. Indonesia telah memiliki kerangka kerja penyelesaian mata uang lokal dengan negara-negara seperti China, yang memungkinkannya menggunakan rupiah atau yuan dalam perdagangan bilateral,” katanya.
Luhut Binsar Pandjaitan, penasihat ekonomi senior Presiden Prabowo Subianto, sependapat dengan Pangestu, dengan menyatakan bahwa Indonesia terlalu besar untuk bergantung pada satu negara, termasuk AS atau China.
"Kita harus mandiri, tetapi tidak ada salahnya sedikit memberontak dengan menunjukkan bahwa kita punya suara dalam berbagai hal. Indonesia terlalu besar untuk bergantung pada negara mana pun," katanya di Jakarta.
Luhut juga menekankan bahwa keanggotaan BRICS akan membantu memperluas pasar ekspor Indonesia.
Meskipun Tiongkok tetap menjadi mitra dagang utama Indonesia, keanggotaan di BRICS akan membuka pintu bagi pasar-pasar berkembang lainnya di blok tersebut.
Data pemerintah menunjukkan bahwa Tiongkok merupakan mitra dagang bilateral utama Indonesia, baik secara keseluruhan maupun dalam BRICS.
Perdagangan Indonesia-Tiongkok mencapai hampir $108,9 miliar pada Januari-Oktober 2024. Akan tetapi, keanggotaan tersebut membuka peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar non-tradisional dalam BRICS.
Perdagangan bilateral dengan Afrika Selatan mencapai $2,1 miliar selama periode yang sama—hanya sebagian kecil dari apa yang telah diamankan Jakarta dengan Tiongkok. Perdagangan Indonesia-Mesir mencapai total $1,4 miliar pada tahun 2024 hingga akhir Oktober.
Masuknya Indonesia ke dalam BRICS menandai tonggak penting dalam kebijakan luar negerinya. Blok yang beranggotakan 10 negara itu kini mencakup Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. *** (dmh)