SERANTAUMEDIA - Ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia, telah memasukkan perdagangan internasional yang lebih adil sebagai bagian dari agenda kebijakan luar negerinya, ungkap diplomat tertinggi negara itu pada hari Jumat, 10 Januari 2025.
Menteri Luar Negeri Sugiono menyampaikan pernyataan pers tahunan pertamanya pada hari Jumat yang memaparkan diplomasi luar negeri Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Ini termasuk diplomasi ekonomi seperti apa yang akan ditempuh negara kepulauan itu dalam beberapa tahun mendatang. Prabowo bercita-cita untuk mencatat pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam masa jabatannya.
Karena target tersebut melampaui tingkat pertumbuhan alami Indonesia sebesar 5 persen, Indonesia bermaksud untuk terlibat dalam hubungan perdagangan yang lebih adil dengan para mitranya.
“Diplomasi ekonomi Indonesia akan mendorong perdagangan yang lebih adil,” kata Sugiono di Jakarta.
Ia menambahkan, “Kami berupaya memperluas akses pasar untuk produk kami, termasuk akses ke pasar non-tradisional. Diplomasi ekonomi kami mencakup menarik investasi yang mendukung program pemerintah.”
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Tiongkok menjadi penyumbang defisit perdagangan Indonesia terbesar.
Indonesia mengalami defisit sebesar US$9,6 miliar saat bertransaksi dengan Tiongkok pada Januari-Oktober 2024. Disusul Australia (US$3,9 miliar) dan Thailand (US$3,4 miliar).
Namun, Indonesia berhasil membukukan surplus perdagangan secara keseluruhan selama 54 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Saat ini, Indonesia tengah berupaya mengamankan beberapa pakta perdagangan yang dapat memberikan akses yang lebih besar bagi para pelaku bisnis di negara ini, khususnya ke berbagai negara.
Sugiono mengatakan, “Perjanjian-perjanjian ini dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para pelaku bisnis Indonesia, termasuk usaha kecil. Kesepakatan-kesepakatan ini juga diharapkan dapat mengurangi ketegangan perdagangan”.
Beberapa negosiasi yang ditetapkan untuk diselesaikan tahun ini termasuk Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Uni Eropa yang sangat ditunggu-tunggu.
Meskipun telah meluncurkan negosiasi pada tahun 2016, baik Indonesia maupun Uni Eropa (UE) telah berjuang untuk mendapatkan kesepakatan yang dapat mengurangi tarif secara signifikan.
Jakarta baru-baru ini menunda batas waktu CEPA Indonesia-UE hingga paling lambat paruh pertama tahun 2025. Di tengah negosiasi yang berlangsung selama bertahun-tahun, hubungan Indonesia-UE telah menghadapi beberapa tantangan.
Misalnya, blok Eropa telah meluncurkan kebijakan antideforestasi yang dapat mempersulit Indonesia untuk mengekspor minyak kelapa sawit sebagai komoditas utamanya ke UE. Pernyataan tahunan Sugiono juga menyinggung peraturan antideforestasi UE atau EUDR.
“Dalam diplomasi ekonomi, kita tidak bisa tinggal diam. Namun, kita harus menanggapi praktik dan kebijakan ekonomi yang tidak adil, termasuk yang merugikan komoditas utama Indonesia. Untuk itu, kita akan mengupayakan arsitektur ekonomi global yang lebih inklusif dan adil, yang memastikan suara negara-negara berkembang didengar,” kata Sugiono. *** (dmh)