SERANTAUMEDIA - Indonesia menyambut baik putusan terbaru Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO terkait gugatan hukum berbasis minyak kelapa sawit terhadap Uni Eropa (UE).
Pada tahun 2019, Indonesia menggugat Uni Eropa di WTO, dengan menyebut kebijakan iklim blok Eropa -- Renewable Energy Directive II (REDD II) -- sebagai kebijakan yang diskriminatif.
RED II melihat Uni Eropa akan menghentikan penggunaan biofuel berbasis minyak kelapa sawit pada tahun 2030 jika mereka merasa berisiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC).
Minggu lalu, panel WTO mengeluarkan laporan, yang menyatakan bahwa beberapa aspek dari implementasi dan desain kebijakan tersebut tidak konsisten dengan aturan WTO.
"Kita menang gugatan WTO untuk biodiesel berbasis minyak sawit. Jadi dunia mengakui bahwa Eropa telah diskriminatif terhadap minyak sawit Indonesia. Namun kemenangan ini menunjukkan bahwa Indonesia bisa berjuang dan menang," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat, 17 Januari 2025.
“Jadi dunia tidak punya pilihan selain menerima. Biodiesel tidak hanya berasal dari rapeseed atau kedelai. Tetapi ada yang berbasis minyak sawit mentah [CPO],” kata Airlangga.
Laporan panel WTO menyatakan bahwa UE gagal melakukan peninjauan tepat waktu terhadap data yang digunakan untuk menentukan biofuel mana yang berisiko tinggi terhadap ILUC.
Panel menemukan kesalahan dalam desain dan implementasi UE atas apa yang mereka anggap berisiko rendah terhadap ILUC. Panel juga memutuskan bahwa insentif pajak untuk biofuel yang digunakan dalam sistem transportasi Prancis bersifat diskriminatif terhadap biofuel berbasis minyak kelapa sawit.
UE hanya mengenakan insentif pajak untuk biofuel berbasis minyak kedelai dan minyak lobak.
Putusan panel tersebut harus diadopsi oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO dalam dua bulan ke depan kecuali laporan tersebut diajukan banding. Jika diadopsi, laporan tersebut akan mengikat antara Indonesia dan UE. Blok Eropa bermaksud melakukan beberapa penyesuaian terhadap kebijakan tersebut.
Menurut Airlangga, putusan terbaru ini diperkirakan akan memengaruhi regulasi antideforestasi atau EUDR Uni Eropa. Kebijakan ini mewajibkan eksportir untuk membuktikan bahwa minyak kelapa sawit mereka bebas dari deforestasi sebelum dapat memasuki pasar Eropa.
Namun, Uni Eropa menunda penerapannya untuk perusahaan besar dan menengah hingga akhir tahun ini. Perusahaan mikro dan kecil memiliki waktu hingga 30 Juni 2026. Airlangga mengatakan penundaan ini menunjukkan ketidakpastian Uni Eropa.
Menteri senior tersebut mengatakan bahwa putusan tentang biofuel dapat menambah kekuatan bagi Indonesia -- dan negara penghasil minyak kelapa sawit lainnya, Malaysia -- untuk memperkuat perlawanan mereka terhadap EUDR. Airlangga mengatakan bahwa EUDR bersifat diskriminatif, sembari juga menyebutkan bahwa petani kecil menguasai lebih dari 41 persen perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Perkembangan terkini juga diharapkan dapat membantu mempercepat negosiasi perjanjian perdagangan Indonesia dengan UE, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
"Semoga ini bisa menyelesaikan [permasalahan] yang selama ini menghantui perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa [CEPA]. Kami berharap perundingan ini bisa segera tuntas," kata Airlangga. *** (dmh)