• Thu, Oct 2025

Ombudsman RI Temukan Potensi Maladministrasi dalam Tata Niaga Sawit

Ombudsman RI Temukan Potensi Maladministrasi dalam Tata Niaga Sawit


JAKARTA, SERANTAU MEDIA - Ombudsman RI menemukan potensi malaadministrasi yang masih sangat tinggi dalam layanan publik di sektor sawit. Untuk itu Ombudsman RI mendorong tata kelola kelapa sawit yang bersih dari malaadministrasi serta berorientasi pada keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.

"Tata kelola industri sawit kita masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari aspek tumpang tindih, perizinan, konflik lahan, lemahnya kemitraan antarperusahaan dan petani, hingga isu lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar perkebunan itu sendiri," kata Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih dalam acara Peluncuran Buku Sawit: Antara Emas Hijau dan Duri Pengelolaan yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Dia menuturkan industri kelapa sawit merupakan komoditas yang sangat strategis dan penting secara nasional karena Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia dengan luas lahan perkebunan mencapai lebih dari 16 juta hektare. 

Sektor tersebut menyerap kurang lebih 16 juta tenaga kerja, yang secara langsung maupun tidak langsung juga menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar, yakni mencapai lebih dari kurang 35 miliar dolar Amerika Serikat (AS) per tahun.

Berdasarkan kajian Ombudsman, terdapat empat aspek tata kelola sawit yang bisa ditelaah. Pertama merupakan aspek lahan, yang menunjukkan masih terdapat tumpang tindih antara izin perkebunan sawit dan kawasan hutan seluas kurang lebih 3,22 juta hektare melibatkan kurang lebih 3.200 subjek hukum.

Kedua, lanjut dia, aspek perizinan. Data menunjukkan baru 1,54 persen dari 2,3 juta perkebunan sawit rakyat yang memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan hanya 0,86 persen lahan sawit rakyat yang telah tersertifikasi ISPO.

"Lemahnya sumber daya manusia (SDM) di daerah, tumpang tindih lahan, serta sistem sertifikasi yang belum efektif menjadi faktor utama," tuturnya.

Dengan demikian, dirinya mengungkapkan terdapat potensi kerugian akibat rendahnya produktivitas dan penggunaan bibit non-standard, yang diperkirakan mencapai Rp185,7 triliun per tahun.

Aspek ketiga, yaitu tata niaga, di mana masih terdapat dualisme izin pabrik kelapa sawit antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian.

Menurut Najih, keadaan tersebut menimbulkan perbedaan harga Tandan Buah Segar (TBS), persaingan tidak sehat, serta ketidakpastian rantai pasok dari pabrik kelapa sawit.

Selain itu, penggunaan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan limbah cair kelapa sawit (POME) yang tidak seimbang membuka celah manipulasi laporan ekspor dengan potensi kerugian mencapai kurang lebih Rp11,5 triliun per tahun.

Keempat, lanjut dia, yakni aspek kelembagaan. Tata kelola industri sawit disokong oleh banyak kementerian dan lembaga, namun belum terintegrasi secara kelembagaan dan regulatif.

Untuk itu, ia menyebutkan potensi malaadministrasi yang ditemukan dari permasalahan aspek kelembagaan, antara lain pengabaian kewajiban hukum dan tidak diberikannya layanan publik secara optimal.

"Total potensi kerugian ekonomi akibat malaadministrasi di sektor sawit diperkirakan mencapai Rp279,1 triliun per tahun," ucap Najih.

Maka dari itu melalui buku yang diluncurkan, ia mengatakan Ombudsman berupaya menghadirkan gambaran yang komprehensif tentang akar masalah dan solusi perbaikan sistemik di sektor kelapa sawit.***