NEWYORK, SERANTAU MEDIA - Zohran Mamdani, politisi muda berusia 34 tahun, membuat sejarah baru di Amerika Serikat dengan resmi terpilih sebagai Wali Kota Muslim pertama dan termuda dalam sejarah New York City.
Kemenangannya bukan cuma peristiwa politik, tetapi juga simbol perubahan besar dalam wajah demokrasi Amerika — di mana suara kaum muda, komunitas imigran, dan umat Islam kini semakin diperhitungkan.
Menurut laporan Associated Press (5/11/2025), kemenangan Mamdani lahir dari gerakan akar rumput yang kuat, strategi media sosial yang efektif, dan dukungan luas dari kalangan muda serta minoritas.
Ia berhasil menumbangkan kandidat independen sekaligus mantan Gubernur New York, Andrew Cuomo, yang mencoba kembali ke panggung politik empat tahun setelah mundur akibat skandal pelecehan seksual.
Kemenangan ini menjadi pukulan telak bagi elite politik lama Amerika. Cuomo, yang sempat mendapat dukungan terbuka dari mantan Presiden Donald Trump, akhirnya gagal mengalahkan arus perubahan yang digerakkan generasi baru pemilih New York.
"Saya lebih percaya Cuomo daripada seorang radikal sayap kiri,” ujar Trump kala itu, sebagaimana dikutip The Associated Press. Namun pernyataan tersebut justru memicu efek sebaliknya — banyak pemilih muda menilai pernyataan Trump sebagai bentuk intervensi politik dari Washington yang tidak seharusnya terjadi di pemilihan lokal.
Zohran Mamdani bukan sekadar wali kota muda. Ia adalah anak imigran Uganda keturunan India yang lahir di Kampala, dibesarkan di New York, dan dikenal sebagai aktivis sosial yang vokal membela kaum tertindas.
Sebelum menjadi wali kota, ia menjabat sebagai anggota parlemen negara bagian New York (State Assembly) dan aktif memperjuangkan isu perumahan terjangkau, keadilan sosial, serta hak-hak komunitas imigran dan pekerja.
Kemenangannya menjadi cahaya harapan bagi komunitas Muslim di Amerika Serikat, yang selama dua dekade terakhir kerap menjadi sasaran stereotip dan Islamofobia, terutama pasca peristiwa 11 September 2001.
Dalam pidato kemenangannya, Mamdani mengatakan dengan lantang:
“Hari ini kita membuktikan bahwa iman, warna kulit, atau asal-usul bukan penghalang untuk memimpin. Islam mengajarkan keadilan — dan itulah yang akan kita wujudkan di kota ini.”
Pernyataan ini disambut hangat oleh berbagai organisasi Muslim di Amerika, termasuk Council on American-Islamic Relations (CAIR), yang menyebut kemenangan Mamdani sebagai “momen kebanggaan dan bukti nyata bahwa demokrasi Amerika masih memberi ruang bagi keberagaman.”
Dalam kampanyenya, Mamdani berjanji membangun New York sebagai kota yang lebih setara dan inklusif, dengan fokus pada tiga isu utama: pertama, perumahan terjangkau bagi semua warga. Kedua, reformasi kepolisian untuk menghapus diskriminasi rasial. Dan ketiga, kebijakan pajak progresif guna mendanai layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Ia juga dikenal tegas menolak Islamofobia dan segala bentuk diskriminasi berbasis agama. Di media sosialnya, Mamdani kerap menulis tentang pentingnya nilai rahmah (kasih sayang) dalam politik modern — nilai yang menurutnya berasal dari ajaran Islam yang universal.
“Politik bukan hanya soal kekuasaan, tapi soal pelayanan. Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan rakyatnya,” tulis Mamdani dalam salah satu unggahan di platform X (Twitter).
Meski dipuji banyak pihak, kemenangan Mamdani juga memunculkan ketegangan di internal Partai Demokrat. Sebagian politisi senior khawatir gaya kepemimpinan progresifnya — yang kerap mengkritik kebijakan partai sendiri — bisa menjauhkan pemilih moderat dan kalangan bisnis.
Namun bagi sayap kiri partai, Mamdani adalah simbol perubahan. Ia dianggap sebagai generasi penerus tokoh progresif seperti Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez. “Kemenangan ini adalah kemenangan rakyat melawan politik uang,” tulis Ocasio-Cortez di akun medianya.***
Sumber : Republika