JAKARTA — Serantaumedia Genap setahun memimpin Indonesia, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menandai momen itu dengan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Senin (20 Oktober 2025). Dalam pidatonya, Prabowo menyebut perekonomian nasional berada dalam kondisi stabil di tengah tekanan geopolitik global.
Prabowo memaparkan sejumlah capaian, di antaranya pertumbuhan ekonomi 5,12 persen pada kuartal II/2025, inflasi 2,65 persen (YoY) dan 1,82 persen (YtD)—salah satu terendah di antara negara G20. Ia juga menyoroti defisit APBN 1,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat menembus angka 8.000.
“Ekonomi Indonesia masih tumbuh kuat dan terkendali,” ujar Prabowo dalam sidang yang disiarkan secara nasional.
Namun, klaim itu berseberangan dengan hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). Dalam laporan bertajuk LPEM Economic Experts Survey Semester II 2025, mayoritas responden menilai ekonomi Indonesia justru memburuk selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran.
Survei yang dilakukan pada 6–16 Oktober 2025 terhadap 67 pakar ekonomi—baik dari dalam maupun luar negeri—menunjukkan 47 persen menilai kondisi ekonomi memburuk, sementara hanya 8 pakar melihat perbaikan. Secara keseluruhan, indeks persepsi ekonomi mencatat skor -0,41. “Temuan ini menunjukkan para pakar masih merasakan kegelisahan terhadap keadaan perekonomian,” tulis laporan itu.
Senada dengan hasil survei, Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) menyebut arah kebijakan ekonomi nasional belum menunjukkan perbaikan mendasar. Dalam pernyataan resmi yang dirilis Selasa (21 Oktober 2025), AEI menilai capaian pemerintah lebih menonjol sebagai konsolidasi kekuasaan ketimbang konsolidasi kebijakan.
“Fondasi ekonomi justru menunjukkan tanda-tanda keletihan struktural: produktivitas menurun, daya beli melemah, kapasitas fiskal menyempit, dan kesenjangan melebar,” tulis AEI.
Aliansi juga mengingatkan Tujuh Desakan Darurat Ekonomi (7DDE) yang telah disampaikan pada akhir September 2025. Mereka menyoroti berbagai persoalan mendasar:
- Ketimpangan anggaran akibat dominasi proyek padat modal dan penurunan transfer ke daerah.
- Intervensi politik terhadap lembaga teknokratis seperti BPS, BI, OJK, dan KPK.
- Ekspansi BUMN dan militer yang mempersempit ruang usaha kecil dan menengah.
- Pelemahan iklim usaha, tercermin dari turunnya peringkat daya saing global Indonesia dari posisi 27 ke 40 versi IMD World Competitiveness Center 2025.
- Kesenjangan sosial meningkat, dengan rasio Gini naik dari 0,38 menjadi 0,40.
- Kebijakan fiskal dan moneter dinilai dipengaruhi tekanan politik, bukan bukti empiris.
- Konflik kepentingan di sektor energi dan tambang yang melibatkan militer dan kepolisian.
AEI menegaskan, tanpa reformasi institusional dan pembenahan tata kelola, Indonesia akan terjebak dalam pertumbuhan semu. “Janji kemandirian ekonomi tidak dapat diwujudkan melalui proyek mercusuar atau retorika politik,” tutup pernyataan tersebut.