• Thu, Jun 2025

Arah Baru Pendidikan Nasional Melalui Kolaborasi Lintas Sektor

Arah Baru Pendidikan Nasional Melalui Kolaborasi Lintas Sektor


Oleh : Naufal Ahmad Afifi*

PENDIDIKAN  bukan hanya urusan teknis pengajaran, melainkan perwujudan dari cita-cita kolektif bangsa. Sejak awal, fondasi yuridis telah menegaskan pentingnya pendidikan bagi semua warga negara, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Di samping itu, sejarah panjang pendidikan di Indonesia menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari pendidikan yang bersifat elitis menuju pendidikan inklusif berbasis keadilan sosial.

Secara filosofis, pendidikan dimaknai sebagai upaya memanusiakan manusia dan menciptakan masyarakat madani, sebagaimana diungkapkan Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam konteks sosiologis, pendidikan menjadi medium utama pembentukan karakter bangsa, instrumen mobilitas sosial, dan jembatan menuju keadilan sosial (Rika Widianita, 2023).

Namun demikian, realitas pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural. Laporan PISA 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-39 dari 41 negara dalam aspek literasi siswa. Meskipun peringkat meningkat, skor literasi justru mengalami penurunan. Temuan ini menunjukkan adanya ketimpangan antara peningkatan akses dengan mutu pembelajaran. Sementara itu, hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) oleh KPK pada tahun 2024 menunjukkan bahwa indeks integritas pendidikan nasional berada pada angka 69,50 atau pada kategori korektif. Nilai ini menegaskan adanya tantangan serius dalam aspek tata kelola pendidikan yang harus segera dibenahi. Bahkan, temuan Dinas Pendidikan di Buleleng, Bali mengungkapkan bahwa masih banyak siswa SMP yang belum lancar membaca, meskipun mereka fasih dalam menggunakan media sosial.

Fenomena lain yang mengemuka adalah meningkatnya kesenjangan digital antar wilayah. Meskipun program digitalisasi pendidikan telah digencarkan, masih terdapat banyak sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang belum memiliki akses internet stabil atau perangkat teknologi pembelajaran. Hal ini memperparah disparitas kualitas pendidikan antar wilayah urban dan rural. Sebuah studi dari Balitbang Kemendikbudristek (2024) menunjukkan bahwa hanya 45% sekolah di daerah 3T yang memiliki akses reguler terhadap jaringan internet.

Selain itu, tantangan baru muncul dalam bentuk kecanduan gawai dan penurunan daya konsentrasi siswa akibat paparan berlebih terhadap teknologi digital. Fenomena ini juga dikaitkan dengan meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental di kalangan pelajar. Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2025 menunjukkan bahwa 1 dari 5 anak usia sekolah mengalami gejala gangguan kecemasan dan depresi ringan akibat tekanan akademik dan penggunaan gawai yang tidak terkontrol.

Di sisi lain, dunia pendidikan kini dihadapkan pada tuntutan baru dari dunia industri yang telah memasuki era Society 5.0. Kurikulum yang ada belum sepenuhnya mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan keterampilan masa depan seperti literasi data, kecerdasan buatan, dan problem solving kompleks. Laporan World Economic Forum (2025) menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam kesiapan tenaga kerja menghadapi transformasi digital, dengan skor adaptabilitas yang rendah di sektor pendidikan menengah.

Sementara itu, arus urbanisasi dan mobilitas sosial juga turut menciptakan tantangan baru bagi pendidikan. Perpindahan besar-besaran dari desa ke kota menyebabkan penumpukan jumlah siswa di kota-kota besar, sementara sekolah-sekolah di daerah ditinggalkan. Hal ini menciptakan ketimpangan rasio guru-siswa yang semakin mencolok. Di Jakarta misalnya, rasio guru-siswa telah mencapai 1:45 di beberapa sekolah negeri, sementara di daerah seperti Maluku Barat Daya, rasio ini bisa serendah 1:10 namun dengan kualitas dan ketersediaan guru yang rendah (Syahid & Mashuri, 2023).

Fenomena ini memperlihatkan bahwa pendidikan tidak bisa berjalan secara parsial dan sektoral. Diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, komunitas, serta pemangku kepentingan lainnya. Kolaborasi ini tidak hanya penting dalam pelaksanaan program, tetapi juga dalam merancang kebijakan yang adaptif dan berbasis bukti. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika, tengah merumuskan kebijakan pembatasan penggunaan media sosial bagi anak-anak.

Langkah ini diambil sebagai respon terhadap dampak negatif digitalisasi tanpa kontrol yang merusak kualitas konsentrasi dan literasi anak-anak. Peraturan Pemerintah tentang pembatasan media sosial ini diharapkan segera disahkan sebagai upaya strategis menyelamatkan generasi masa depan.
Keberlanjutan pendidikan bermutu memerlukan sinergi antar stakeholder, termasuk partisipasi aktif dari masyarakat sipil, institusi pendidikan tinggi, organisasi profesi, serta dunia usaha dan industri. Salah satu contoh konkret dari kebijakan transformatif adalah peluncuran Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) oleh Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2025. Dalam sambutannya,

Presiden menegaskan bahwa pendidikan merupakan prioritas mutlak pembangunan nasional. Ia menyatakan bahwa tidak mungkin Indonesia menjadi negara sejahtera dan maju jika pendidikan tidak bermutu. Ungkapan beliau menggarisbawahi pentingnya percepatan transformasi pendidikan sebagai bagian dari visi pembangunan jangka panjang bangsa.

Program Hasil Terbaik Cepat memiliki empat fokus utama. Pertama adalah perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, yang tahun ini ditargetkan merehabilitasi ribuan satuan pendidikan melalui skema swakelola mandiri. Pendekatan ini bertujuan mendorong efisiensi dan menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap sekolah. Kedua, digitalisasi pembelajaran menjadi agenda penting melalui penyediaan konten edukatif di platform "Ruang Murid" dan distribusi papan interaktif di sekolah-sekolah.

Teknologi ini memungkinkan pembelajaran yang lebih adaptif dan responsif terhadap tantangan revolusi industri 4.0. Ketiga, pemberian insentif bagi guru non-ASN yang belum tersertifikasi sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi mereka dalam dunia pendidikan. Keempat, bantuan biaya pendidikan bagi guru yang belum memiliki kualifikasi S1 atau D4, sebagai upaya memastikan kualitas pendidik yang merata di seluruh penjuru negeri.

Data dari Kemendikbudristek menunjukkan bahwa hingga awal 2025, lebih dari 280.000 guru non-ASN masih belum memiliki sertifikat pendidik dan 160.000 guru belum memenuhi kualifikasi pendidikan S1. Dengan intervensi PHTC, pemerintah menargetkan penurunan angka ini sebesar 50 persen dalam dua tahun ke depan. Selain itu, target rehabilitasi fasilitas pendidikan sebanyak 11.000 sekolah pada tahun ini menjadi salah satu upaya percepatan yang konkret. Presiden menegaskan bahwa jika program ini tidak dilaksanakan secara cepat dan masif, maka Indonesia membutuhkan waktu 30 tahun untuk memperbaiki seluruh fasilitas pendidikan yang ada.

Sebagai tanggapan atas tantangan dan peluang tersebut, kolaborasi lintas sektor harus ditingkatkan. Pemerintah pusat memegang kendali arah kebijakan makro dan regulasi, sedangkan pemerintah daerah harus proaktif dalam pelaksanaan, pengawasan, dan penguatan komunitas belajar lokal. Dunia industri dan bisnis dapat berperan dalam penyediaan teknologi dan dukungan pembiayaan, sementara masyarakat sipil dapat menjadi mitra strategis dalam pengawasan sosial dan pemberdayaan komunitas sekolah.

Dalam praktiknya, model kolaborasi ini dapat diwujudkan melalui platform digital integratif, forum musyawarah lintas sektor, dan skema insentif untuk partisipasi pihak non-pemerintah. Pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan yang mencapai 20-30 persen dari APBN, memastikan setiap rupiah digunakan untuk mempercepat pemenuhan hak belajar anak bangsa. Perhatian besar Presiden Prabowo terhadap pembangunan pendidikan memberikan optimisme baru bagi masyarakat. Dengan manajemen kebijakan yang terencana dan kolaboratif, seluruh potensi bangsa dapat dioptimalkan.

Oleh karena itu, arah baru pendidikan nasional tidak semata berbicara tentang perubahan kurikulum atau penyediaan teknologi semata. Lebih dari itu, ini adalah tentang membangun kesadaran kolektif bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.

Dengan bersandar pada dasar yuridis yang kuat, warisan sejarah, pandangan filosofis para pendidik bangsa, serta kebutuhan sosiologis masa kini, kolaborasi lintas sektor menjadi pilar utama dalam mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua. Momentum inilah yang harus dijaga agar Indonesia tidak hanya naik peringkat di berbagai indeks pendidikan, tetapi benar-benar mengalami transformasi mendalam yang bermuara pada kemajuan bangsa yang berkelanjutan.***

 

*Aktivis & Pengamat Pendidikan Mahasiswa Jabodetabek Raya