PEKANBARU | SERANTAUMEDIA - Konflik antara manusia dan harimau sumatera di Riau terus menjadi ancaman serius. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mencatat adanya peningkatan kasus serangan harimau terhadap manusia dalam beberapa tahun terakhir, didorong hilangnya habitat alami satwa tersebut akibat deforestasi.
Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengungkapkan data yang mengejutkan terkait konflik ini.
“Sejak tahun 2018 hingga 2024, tercatat 15 kejadian serangan harimau yang mengakibatkan 13 korban jiwa dan 2 orang luka-luka,” ujarnya, Jumat (3/1/2025).
Berdasarkan data Population Viability Analysis (PVA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2016, terdapat tujuh kantong habitat harimau di Riau. Namun, wilayah-wilayah ini mengalami tekanan besar akibat alih fungsi lahan.
“Dalam tujuh kantong habitat tersebut, ditemukan keberadaan 36 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan delapan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit. Wilayah ini banyak yang telah terkonversi menjadi lahan perkebunan dan HTI,” jelas Okto.
Deforestasi besar-besaran di kantong habitat harimau menjadi penyebab utama konflik yang terus meningkat.
Jikalahari mencatat, selama 2014-2023, terjadi deforestasi seluas 141.076 hektare di kawasan kantong habitat harimau, dengan Semenanjung Kampar dan Senepis sebagai wilayah terdampak terbesar.
“Di Semenanjung Kampar, dari total 67.317 hektare deforestasi, 33 persen disumbangkan oleh aktivitas korporasi. Sementara itu, Senepis kehilangan 30.037 hektare tutupan hutan alamnya, di mana 79 persen deforestasi tersebut juga terkait aktivitas korporasi,” tambahnya.
Hilangnya tutupan hutan memaksa harimau sumatera keluar dari habitatnya untuk mencari makanan, yang sering kali membawa mereka ke area permukiman manusia. Akibatnya, konflik pun tak terhindarkan.
“Sebanyak 15 lokasi serangan harimau yang kami catat berada di dekat atau bahkan di dalam kawasan kantong habitat harimau. Dua daerah kantong utama, yakni Semenanjung Kampar dan Senepis, mengalami deforestasi tinggi dalam 10 tahun terakhir,” sebut Okto.
Sebagai pembanding, Okto mengungkapkan bahwa kawasan Bukit Rimbang Baling, yang memiliki tingkat deforestasi rendah, nyaris tidak pernah mencatat kasus serangan harimau terhadap manusia.
“Hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya menjaga tutupan hutan untuk meminimalkan konflik antara manusia dan satwa liar,” ujarnya.
Jikalahari menyerukan tindakan tegas dari pemerintah dan perusahaan untuk menghentikan alih fungsi lahan di kantong habitat harimau.
Okto menekankan perlunya kebijakan perlindungan hutan yang lebih ketat guna mengurangi potensi konflik.
“Hilangnya tutupan hutan di kantong habitat harimau tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga meningkatkan ancaman bagi masyarakat. Kita harus mengambil langkah konkret untuk melindungi hutan yang tersisa,” tutupnya.
Konflik manusia dan harimau di Riau menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
Deforestasi yang terus berlangsung tanpa kendali hanya akan memperburuk krisis ini, mengancam keberlangsungan hidup harimau sumatera sekaligus keselamatan manusia.