BATAM | SERANTAUMEDIA - Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Batam, Dedy Suryadi, mengimbau para orangtua untuk lebih ketat mengawasi penggunaan media sosial anak-anak mereka.
Imbauan ini menyusul temuan kasus praktik open booking online (BO) di kalangan remaja, yang diduga kuat mengarah pada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Kami menerima laporan terkait kekerasan anak, dan setelah dilakukan asesmen lebih lanjut, baru terungkap adanya praktik open BO. Ini sesuatu yang kami kategorikan sebagai indikasi TPPO,” ungkap Dedy saat dihubungi di Batam, Jumat (28/2).
Menurut Dedy, pada tahun ini sudah ada satu kasus yang mengarah ke tindak pidana tersebut, sementara tahun lalu juga ditemukan beberapa kasus serupa.
Mayoritas praktik ini dilakukan secara daring melalui media sosial, di mana anak-anak melakukan negosiasi dan transaksi dengan klien.
Yang lebih memprihatinkan, kata Dedy, terdapat kasus seorang anak SMP yang bertindak sebagai mucikari kecil dan memasarkan temannya sendiri kepada seorang klien.
“Dia yang melakukan pemesanan, temannya dibawa ke suatu tempat, klien membayar kepadanya, lalu uang itu dibagi ke temannya. Ini menjadi sebuah siklus yang terus berulang,” ujarnya.
Dedy menegaskan bahwa anak-anak yang terlibat dalam praktik ini bukanlah pelaku kriminal dalam arti sesungguhnya, melainkan korban eksploitasi.
“Mereka berpikir hanya mencari uang tanpa menyadari bahwa ini adalah bentuk perdagangan manusia. Risiko yang mereka hadapi tidak hanya dari sisi fisik, tetapi juga mental dan emosional,” katanya.
Fenomena ini, lanjut Dedy, bukan hanya dipicu oleh faktor ekonomi. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan juga menjadi alasan anak-anak terjerumus ke dalam praktik ini.
“Mereka hanya ingin mengikuti tren, atau bahkan sekadar memenuhi keinginan pasangan mereka. Padahal, mereka belum memiliki kematangan berpikir seperti orang dewasa,” tambahnya.
Karena itu, Dedy menilai pentingnya rehabilitasi bagi anak-anak yang terlibat dalam kasus ini. Namun, ia menyayangkan masih adanya stigma di masyarakat yang membuat orangtua enggan melaporkan anak mereka.
“Seharusnya rehabilitasi itu dianggap sebagai upaya penyembuhan, bukan sesuatu yang ditakuti. Tapi, banyak orangtua yang justru merasa malu atau takut jika anaknya direhabilitasi,” ujarnya.
Dedy menekankan bahwa pengawasan dari orang tua sangat penting untuk mencegah anak-anak terlibat dalam eksploitasi daring.
“Orangtua perlu aktif memantau aktivitas digital anak, membangun komunikasi yang baik dengan mereka, serta memberikan pemahaman tentang bahaya yang ada di dunia maya,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan agar orangtua tidak hanya sekadar membatasi akses anak terhadap media sosial, tetapi juga membimbing mereka dalam menggunakan teknologi dengan bijak.
“Pendampingan dan edukasi dari keluarga adalah benteng utama dalam melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi daring,” pungkasnya.