SERANTAUMEDIA.ID - Prospek tahunan JPMorgan memperingatkan bahwa pasar negara berkembang menghadapi tahun 2025 yang penuh gejolak, dengan ketidakpastian signifikan yang berasal dari perubahan kebijakan di Amerika Serikat dan tantangan yang sedang berlangsung di Tiongkok.
Bank memperkirakan bahwa pertumbuhan di pasar negara berkembang akan melambat menjadi 3,4 persen pada tahun 2025, turun dari 4,1 persen tahun ini.
Tidak termasuk Tiongkok, pertumbuhan diperkirakan akan melambat lebih lanjut menjadi 3,0 persen, dari 3,4 persen pada tahun 2024.
Prospek tersebut menyoroti bagaimana perubahan kebijakan AS dapat memicu guncangan pasokan negatif, yang menciptakan efek berantai di seluruh ekonomi negara berkembang.
Dengan dolar yang lebih kuat dan suku bunga yang lebih tinggi di masa mendatang, dana obligasi pasar berkembang diproyeksikan menghadapi arus keluar antara $5 miliar dan $15 miliar pada tahun 2025.
Laporan JPMorgan menguraikan tahun yang penuh tantangan bagi pendapatan tetap pasar berkembang termasuk Indonesia.
Kembalinya pemerintahan AS yang dipimpin Partai Republik di bawah Donald Trump diperkirakan akan membawa kebijakan tarif, pergeseran geopolitik, dan perubahan domestik yang dapat memperkuat dolar dan menaikkan suku bunga.
Faktor-faktor ini akan sangat membebani sentimen terhadap pasar negara berkembang, terutama utang negara mereka.
Meskipun adanya risiko ini, bank memperkirakan pengembalian sebesar 4,3 persen untuk utang negara dalam mata uang keras pada akhir tahun 2025, turun dari pengembalian sebesar 6,9 persen yang diharapkan pada tahun 2024.
Prakiraan penerbitan utang bank menunjukkan sedikit penurunan dalam penerbitan bruto mata uang keras negara hingga sedikit di bawah level 2024. Namun, meningkatnya amortisasi utang berarti pembiayaan bersih akan turun secara signifikan.
Pada sisi pasar spesifik, JPMorgan telah menghapus rekomendasi kelebihan beratnya pada utang negara Republik Dominika, meskipun mengharapkan negara itu mencapai status layak investasi dalam waktu empat tahun.
Selain itu, bank telah bersikap kurang serius terhadap suku bunga lokal Indonesia, yang menandakan kehati-hatian karena pasar negara berkembang menghadapi tahun yang penuh tantangan di depan. ***