• Sun, Jan 2025

Perbandingan Daya Tarik Investasi: Mengapa Nvidia dan Apple Pilih Vietnam, Bukan Indonesia?

Perbandingan Daya Tarik Investasi: Mengapa Nvidia dan Apple Pilih Vietnam, Bukan Indonesia?

Investasi yang diperkirakan mencapai US$ 200 juta (setara Rp 3,26 triliun) ini kembali menyoroti ketertinggalan Indonesia dalam menarik perhatian investor global.


JAKARTA | SERANTAUMEDIA - Indonesia kembali kalah bersaing dengan negara tetangganya, Vietnam, dalam memikat investasi asing. Kali ini, perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat, Nvidia Corporation, memutuskan untuk mendirikan pusat penelitian dan pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) serta pusat data di Vietnam.

Investasi yang diperkirakan mencapai US$ 200 juta (setara Rp 3,26 triliun) ini kembali menyoroti ketertinggalan Indonesia dalam menarik perhatian investor global.

Bambang Brodjonegoro, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, mengungkapkan kekalahan Indonesia dalam hal ini. Bahkan, pada November 2024 lalu, pendiri Nvidia, Jensen Huang, sempat mengunjungi Indonesia, namun keputusan investasi akhirnya lebih memilih Vietnam.

Menurut Piter Abdullah, Direktur Segara Institut, Indonesia kalah dalam beberapa aspek penting yang menjadi perhatian investor asing. Salah satu faktor utama adalah pertumbuhan ekonomi.

Vietnam mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 7%, sementara Indonesia menghadapi stagnasi yang mengkhawatirkan.

"Indonesia masih dihantui oleh birokrasi yang rumit dan biaya investasi yang tinggi. Banyak biaya tambahan yang 'tak terlihat' yang menjadi beban bagi para investor," kata Piter dilansir detik.com.

Ia juga menyoroti tantangan dalam sektor ketenagakerjaan, ketersediaan lahan, dan faktor-faktor lainnya yang menyulitkan Indonesia.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menambahkan bahwa masalah perizinan dan regulasi menjadi penghambat utama bagi Indonesia.

"Vietnam memberikan penawaran yang lebih mudah. Perjanjian lebih fleksibel di sana, dan mereka juga memiliki banyak perjanjian kerja sama multilateral dan bilateral dengan negara-negara Eropa dan AS," jelas Esther.

Ia juga menyebutkan bahwa upah tenaga kerja di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, di mana upah diatur oleh pemerintah untuk menjaga kestabilan.

Esther juga menyoroti tingginya biaya untuk menjalankan bisnis di Indonesia.

"Biaya untuk berbisnis di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam," ujar Esther.

Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak perusahaan memilih negara-negara tetangga.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kebutuhan akan energi terbarukan di kawasan industri Indonesia belum cukup tersedia.

Sementara itu, Vietnam sudah lebih maju dalam hal ini, berkat kebijakan power wheeling yang memungkinkan berbagi jaringan transmisi energi.

"Kualitas tenaga kerja Indonesia di sektor teknologi tinggi (hi-tech) masih tertinggal dibandingkan Vietnam. Sekolah vokasi dan balai latihan kerja belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan industri hi-tech. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk sinkronisasi materi pelatihan kerja di sekolah vokasi," kata Bhima.

Selain itu, ia juga menyoroti infrastruktur kawasan industri yang belum sepenuhnya memadai dan tingginya biaya logistik di Indonesia.

Menurutnya, pemerintah pusat perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk lebih mengoptimalkan revitalisasi fasilitas di kawasan industri yang ada.

Bhima juga menjelaskan bahwa pemerintah Vietnam lebih mampu mendorong peningkatan rasio pajak tanpa menaikkan tarif, bahkan dengan menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sekitar 8%. Ini membuat Vietnam menjadi lebih menarik bagi investor, terutama wisatawan asing.

"Vietnam tidak hanya mendapatkan keuntungan dari relokasi industri dalam perang dagang AS-China, tetapi mereka juga memiliki daya beli masyarakat yang kuat dan melakukan reformasi fiskal yang efektif," ungkap Bhima.

Sementara itu, Indonesia masih mengalami masalah dalam hal reformasi fiskal yang belum optimal.

Selain Nvidia, Indonesia juga kalah dalam merebut investasi besar lainnya, seperti dari Apple yang memilih Vietnam dengan membawa investasi senilai US$ 15,8 miliar (Rp 257,54 triliun). Beberapa pabrik besar, termasuk sepatu Nike, juga lebih memilih untuk pindah ke Vietnam.

Bhima mengingatkan bahwa Indonesia bukan pertama kalinya kalah saing dalam memperebutkan investor. Beberapa waktu lalu, perusahaan otomotif China, Chery, lebih memilih berinvestasi sebesar US$ 800 juta di Vietnam daripada di Indonesia.

"Indonesia hanya dijadikan pasar mobil Chery tanpa membuat industrinya," ujar Bhima.

Perusahaan-perusahaan lain, seperti produsen ban asal Korea Selatan, PT Hung-A, dan perusahaan alas kaki asal Denmark, PT ECCO, juga lebih memilih Vietnam.

Bahkan, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2018, saat perang dagang AS-China berlangsung, lima dari delapan perusahaan China lebih memilih Vietnam daripada Indonesia.