MENGHUBUNGKAN politik dengan lingkungan telah banyak dikaji dalam kajian politik modern. Salah satunya adalah karya Paul Robbins "Political Ecology: A Critical Introduction", dalam tulisannya Robbins melihat bagaimana isu-isu lingkungan dapat digunakan dalam konteks politik untuk membangun legitimasi dan menarik pemilih yang peduli terhadap lingkungan. Dengan kata lain, Robbins ingin menjelaskan bahwa yang namanya praktik politik mempengaruhi lingkungan itu dikelola dan sebaliknya bagaimana lingkungan hidup (SDA) mempengaruhi praktik politik di suatu wilayah.
Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu wilayah terkaya di Indonesia dalam hal sumber daya alam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 237 perusahaan perkebunan kelapa sawit aktif di Riau, 20 di antaranya adalah perusahaan besar negara. Selain itu, blok Rokan yang dikelola oleh PT. Pertamina Hulu Rokan memproduksi 161.623 barel minyak per hari, menjadikannya salah satu produsen minyak dan gas terbesar di Indonesia.
Meskipun di Riau kaya akan sumber daya alam, namun pada kenyataannya hal itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat ataupun kualitas hidupnya. Berkenaan dengan kualitas lingkungan hidup, di Riau sebetulnya ada gagasan yang mengatakan bahwa telah terjadi penurunan kualitas lingkungan dan sudah dinormatifkan melalui RPJDP 2025-2045.
Ada lima karakter yang diidentifikasi oleh dokumen itu: 1, Deforestasi (penggundulan hutan), 2. Degradasi Lahan (Penurunan kualitas tanah dan lahan), 3. Dampak emisi karbon dari industri ekstraktif (derajat polusi udara), 4. Ketergantungan ekonomi terhadap SDA tak terbarukan, 5. Keterbatasan implementasi kebijakan lingkungan yang berkelanjutan.
Dokumen ini membantu menilai sejauh mana perhatian kandidat gubernur terhadap kualitas lingkungan hidup melalui visi dan misi mereka.
Kembali kepada hubungan politik dan pengelolaan lingkungan, tulisan ini berupaya untuk melihat lebih jauh pada relasi ini. Diharapkan ini dapat menjelaskan sensitivitas aktor politik terhadap kualitas lingkungan hidup.
Pasangan Bermarwah
Peta politik di Provinsi Riau menghasilkan 3 pasang kandidat. Pasangan nomor urut satu, Abdul Wahid dan SF Hariyanto, dikenal dengan julukan Bermarwah yang didukung oleh partai PKB, PDIP, dan Partai Nasdem. Abdul Wahid merupakan politisi dan mantan pengusaha. Sementara SF Hariyanto adalah seorang yang telah lama berkarir sebagai birokrat.
Pasangan Bermarwah menjadikan aspek ekologis sebagai salah satu pilar utama visi mereka: “Riau Berbudaya Melayu, Dinamis, Ekologis, Agamis, dan Maju.” Hal ini mencerminkan kesadaran terhadap tantangan strategis Riau, seperti deforestasi dan dampak industri ekstraktif, sebagaimana diuraikan dalam RPJPD Riau 2025–2045.
Mereka mengajukan tujuh program prioritas, seperti Riau Cerdas (pendidikan), Riau Sehat (kesehatan), Riau Mantap (infrastruktur), hingga Riau Berdaya Saing (hilirisasi produk unggulan).
Namun, beberapa program tersebut menghadirkan kontradiksi terhadap komitmen lingkungan. Hilirisasi produk kelapa sawit, misalnya, berpotensi meningkatkan nilai tambah ekonomi tetapi sering kali berdampak negatif pada lingkungan. Begitu pula proyek infrastruktur besar dalam program Riau Mantap yang dapat meningkatkan tekanan terhadap ekosistem. Teori unequal ecological exchange (Hornborg, 1997) menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya sering kali memindahkan beban ekologis ke masyarakat lokal, sementara manfaatnya terkonsentrasi di tangan elit ekonomi.
Produksi minyak bumi dan kelapa sawit di Riau mencerminkan pola eksploitasi di mana manfaat ekonomi cenderung terkonsentrasi pada perusahaan besar atau pemerintah pusat. Sementara itu, dampak ekologis seperti deforestasi, polusi, dan degradasi tanah lebih banyak dirasakan oleh masyarakat lokal. Hal ini memperkuat ketimpangan antara pusat-pusat kekuatan ekonomi dengan daerah penghasil SDA.
Strategi Bermarwah yang mengedepankan kebijakan hijau adalah upaya menarik segmen pemilih yang peduli keberlanjutan. Namun, keberhasilan strategi ini bergantung pada kemampuan mereka menghadirkan solusi nyata, bukan sekadar janji kampanye. Contohnya, agenda TPST dalam Riau Mantap menunjukkan komitmen pengelolaan limbah berkelanjutan.
Namun, program ini beriringan dengan proyek infrastruktur besar yang bisa memunculkan persepsi bahwa isu lingkungan hanya pelengkap.
Narasi ekonomi mereka kerap mengabaikan masalah sistemik, seperti ketimpangan akses terhadap manfaat SDA. Model pembangunan ini, sebagaimana dikritik Robbins (2004), cenderung memperkuat ketidakadilan sosial-ekologis.
Upaya pasangan Bermarwah menunjukkan bahwa isu lingkungan semakin relevan dalam politik elektoral. Namun, visi ekologi itu tidak serta merta diterjemahkan oleh misi dan programnya yang lebih banyak berbicara soal pembangunan infrastruktur.
Pasangan Nawaitu
Pasangan nomor urut dua, M. Nasir dan Muhammad Wardan, disebut Nawaitu didukung oleh Gerindra, PPP, PAN, Demokrat, Partai Perindo, PSI, dan Partai Gelora. M. Nasir adalah seorang politisi sejak tahun 2009 dan Muhammad Wardan berasal dari kalangan birokrat. Mereka mengusung visi “Riau Berdaya Saing, Berintegritas, Maju, dan Berbudaya Melayu, Menuju Riau Emas,” dengan narasi pembangunan ambisius yang menekankan ekonomi, daya saing, dan budaya Melayu. Namun, perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan masih memerlukan eksplorasi mendalam.
Dalam dokumen visi-misi, mereka menyoroti ekonomi hijau, ekonomi biru, dan harmoni dengan lingkungan. Penyebutan ekonomi hijau empat kali menunjukkan upaya menarik pemilih peduli lingkungan, meski belum jelas apakah ini pilar utama kebijakan atau sekadar atribut kampanye.
Misi hilirisasi SDA dan penguatan ekonomi hijau menyimpan kontradiksi. Fokus pada kelapa sawit dan migas dapat memperkuat ekonomi ekstraktif yang merusak lingkungan. Sementara itu, konsep trade-off ecological development (Brundtland Report, 1987) menunjukkan prioritas ekonomi dengan asumsi dampak lingkungan dapat dikelola di masa depan. Dalam jangka panjang, trade-off lingkungan dengan ekonomi, seperti berkurangnya tutupan hutan atau polusi udara tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi yang bergantung pada SDA. Krisis ekologis di Riau menuntut strategi lebih konkret.
“Infrastruktur emas” mereka, seperti transportasi rendah emisi dan konektivitas pedesaan, juga menghadirkan tantangan pelestarian lingkungan. Ketimpangan antara pertumbuhan kapitalis dan keberlanjutan ekologis menjadi dilema yang memerlukan mitigasi dampak ekologis yang jelas.
Secara keseluruhan, meski narasi pasangan ini mendukung pembangunan ramah lingkungan, program mereka cenderung masih berorientasi pada industrialisasi tradisional. Mereka perlu strategi yang lebih komprehensif untuk menjembatani kontradiksi pembangunan dan pelestarian lingkungan.
Pasangan Suwai
Pasangan nomor urut tiga, Syamsuar dan Mawardi M Saleh dengan dukungan dari Golkar dan PKS, yang menggunakan nama Suwai. Syamsuar adalah petahana dan seorang birokrat sementara Mawardi M. Saleh berlatar belakang pengusaha dan akademisi.
Pasangan ini mengusung visi “Terwujudnya Riau Maju dan Bermartabat sebagai Pusat Ekonomi Sumatera dan Gerbang Utama Ekonomi ASEAN Tahun 2029,” dengan menekankan pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Dalam delapan misi mereka, terdapat upaya pengintegrasian isu lingkungan, seperti pencegahan kebakaran hutan, edukasi melalui sekolah adiwiyata, dan pengembangan kampung iklim.
Syamsuar sebagai petahana memiliki kelebihan dibandingkan dengan kandidat yang lain, yakni kebijakan Riau Hijau yang telah dikenalkan sejak 2019 lalu. Dokumen visi dan mereka dengan tegas menguraikan program pembangunan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Akan tetapi, program pembangunan pasangan ini yang mencakup infrastruktur jalan, hilirisasi SDA, dan ketahanan pangan, yang berpotensi meningkatkan tekanan ekologis. Misalnya, pembangunan jalan lintas kabupaten/kota dan jembatan layang kerap memperparah banjir akibat minimnya perencanaan ekologis. Hilirisasi SDA di sektor perkebunan dan pertambangan juga berisiko memperburuk eksploitasi jika tidak diimbangi dengan regulasi ketat.
Program peremajaan kebun kelapa sawit dan pembangunan infrastruktur pangan pun berpotensi mengorbankan ruang hijau.
Strategi pasangan Suwai dapat dianalisis melalui kerangka ecological political economy yang mengkaji bagaimana kebijakan lingkungan menjadi bagian dari kepentingan politik (Blaikie and Brookfield, 1987).
Kampanye mereka mencoba menyeimbangkan narasi keberlanjutan lingkungan dengan tuntutan pembangunan ekonomi tradisional. Namun, fokus besar pada eksploitasi SDA dan proyek fisik menyoroti keterbatasan pendekatan ekologis yang mereka tawarkan.
Meskipun narasi kampanye ini cukup tegas dalam menyebutkan isu lingkungan, keberhasilan strategi hijau mereka akan ditentukan oleh implementasi kebijakan yang konsisten dan transparan, bukan sekadar retorika politik.
Kesimpulan
Ketiga pasangan kandidat gubernur Riau menunjukkan upaya untuk mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam kampanye mereka, tetapi masing-masing menghadapi tantangan dalam memastikan konsistensi antara visi dan implementasi. Analisis ini menunjukkan bahwa:
1. Bermarwah memiliki political will yang baik dalam menempatkan isu lingkungan sebagai salah satu pilar visi mereka, tetapi program-program mereka masih menunjukkan kontradiksi yang signifikan.
2. Nawaitu menyajikan narasi ekonomi hijau yang menarik, tetapi pendekatan mereka terhadap hilirisasi SDA dan infrastruktur menunjukkan keterbatasan dalam mengintegrasikan keberlanjutan.
3. Suwai membawa kesinambungan kebijakan Riau Hijau sebagai narasi unggulan, tetapi kurangnya perhatian terhadap implementasi dan evaluasi menimbulkan keraguan terhadap komitmen mereka.
Bagi pemilih, penting untuk menilai sejauh mana program-program ini realistis, koheren, dan berorientasi pada keberlanjutan. Selain itu, calon gubernur perlu memastikan bahwa janji kampanye mereka tidak hanya menjadi alat legitimasi politik tetapi benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. ***
Penulis merupakan Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada