SERANTAUMEDIA.ID - Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang mendapat banyak penolakan.
Hal ini ditakutkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional yang sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga.
Seorang pengamat ekonomi memperingatkan imbas kenaikan PPN pada ekonomi Indonesia, pada Rabu, 20 November 2024.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia bermaksud menaikkan PPN sebesar 1 poin persentase menjadi 12 persen tahun depan untuk mendongkrak penerimaan pajak. Ini merupakan sebuah langkah krusial untuk mendanai program-program Presiden Prabowo Subianto yang baru dilantik.
Ajib Hamdani, ekonom dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengingatkan bahwa kenaikan PPN bisa menjadi bumerang, yang berdampak negatif pada daya beli dan biaya hidup.
Ajib mengatakan konsumsi rumah tangga menyumbang 60 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan adanya penurunan daya beli, akan sangat berdampak terhadap perekonomian nasional.
Berbicara kepada saluran bisnis IDTV, Ajib juga mempertanyakan waktu kenaikan yang diusulkan, mengingat lebih dari 8,5 juta warga telah mengalami penurunan status ekonomi mereka dalam lima tahun terakhir, terutama sejak Covid-19 melanda.
“Konsumsi masyarakat sudah melambat, terbukti dari deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak bulan Mei,” kata Ajib.
“Keputusan untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen muncul pada saat daya beli melemah dan pertumbuhan ekonomi tetap lamban, waktunya tidak tepat,” katanya.
Menanggapi hal itu, Apindo mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan PPN hingga ekonomi nasional menunjukkan pemulihan yang lebih kuat dan daya beli rumah tangga mulai membaik, Ajib menambahkan.
Ia mencatat tujuan ambisius Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam tiga tahun ke depan, sambil memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat merusak target ini.
“Pertumbuhan ekonomi yang kuat membutuhkan daya beli yang kuat, tetapi kenaikan ini hanya akan menghambat pengeluaran,” katanya. *** (Evita)