• Tue, Oct 2025

Proyek “Israel Raya” Bayangi Stabilitas Kawasan dan Dunia

Proyek “Israel Raya” Bayangi Stabilitas Kawasan dan Dunia


SERANTAUMEDIA - Ekspansionisme Israel kian meluas dengan Qatar disebut sebagai korban awal dan Turkiye diperkirakan menjadi target berikutnya. Fenomena ini dinilai bukan sekadar riak geopolitik sesaat, melainkan bagian dari narasi besar proyek “Israel Raya” yang berupaya menafsir ulang peta kawasan.

Pakar hubungan internasional menilai, ekspansi tersebut berakar pada doktrin keamanan Israel yang menolak menunggu serangan musuh dan memilih strategi menyerang lebih dulu. Namun, logika pertahanan itu kini berubah menjadi justifikasi ekspansionisme yang melampaui batas hukum internasional.

Situasi kian kompleks karena geopolitik global turut mewarnai dinamika kawasan. Amerika Serikat menjadi penyokong utama Israel melalui bantuan dana, senjata, hingga legitimasi diplomatik di PBB. Sementara Rusia memainkan peran ambivalen dengan tetap menjaga pengaruhnya di Suriah tanpa memutus hubungan dengan Tel Aviv. Di sisi lain, China menanamkan pengaruh lewat diplomasi ekonomi dan energi melalui proyek Belt and Road Initiative.

Turkiye disebut berada di tepi jurang berbahaya mengingat posisinya sebagai anggota NATO sekaligus pemilik warisan sejarah kekhalifahan. Kawasan Timur Tengah pun makin terbelah: sebagian negara Arab cenderung normalisasi hubungan dengan Israel, sebagian lainnya memilih jalur perlawanan.

Pengamat menilai ekspansionisme Israel akan terus bergema di panggung global, menjadikan Timur Tengah sebagai arena perang dingin baru antara Barat dan poros kekuatan lain. Indonesia, dengan politik luar negeri bebas aktif, diminta tidak hanya menjadi penonton. Selain mandat konstitusi untuk mendukung Palestina, Indonesia juga memiliki kepentingan menjaga stabilitas jalur energi dari Teluk dan memperkuat posisi diplomatik di forum global.

“Konflik di Timur Tengah selalu berimbas ke Asia Tenggara, mulai dari harga energi hingga diplomasi multilateral. Indonesia perlu bersikap strategis, bukan sekadar simbolik,” ujar seorang pengamat politik internasional.