Pekanbaru - Serantaumedia Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid, kembali mengguncang kesadaran publik. Riau, provinsi yang berulang kali menyaksikan gubernurnya tersandung kasus korupsi, seakan memperlihatkan pola berulang — di mana kekuasaan lokal, agama, dan moralitas politik saling berkelindan. Dalam pusaran ini, muncul nama Ustaz Abdul Somad (UAS), seorang tokoh agama kharismatik asal Riau, yang dikenal memiliki kedekatan sosial dan simbolik dengan Abdul Wahid.
UAS bukan sekadar sosok pendakwah; ia adalah figur wacana — “the subject of discourse” — dalam istilah Michel Foucault. Ia membentuk bukan hanya makna keagamaan, tetapi juga lanskap sosial dan politik di mana makna “benar” dan “salah”, “alim” dan “durjana”, “amanah” dan “khianat” diproduksi dan disebarkan. Maka, ketika seorang gubernur yang lahir dari jejaring religius seperti Abdul Wahid terjerat OTT KPK, persoalan yang muncul tidak lagi semata-mata soal korupsi, melainkan soal bagaimana kekuasaan bekerja melalui wacana agama.
- Kekuasaan Tidak Pernah Tunggal
Foucault menolak gagasan bahwa kekuasaan hanya berada di tangan penguasa politik atau aparat negara. Kekuasaan, katanya, bersifat difus — menyebar ke dalam jaringan relasi sosial, lembaga pendidikan, ruang dakwah, bahkan cara berbicara dan berpikir masyarakat. Dalam konteks ini, UAS dan Abdul Wahid berada dalam jejaring kekuasaan yang saling menopang:
* UAS memiliki kekuasaan simbolik dan wacana moral,
* Abdul Wahid memiliki kekuasaan administratif dan politik.
Keduanya tidak berdiri hierarkis, tetapi berkelindan. Kekuasaan UAS dalam ruang dakwah memberi legitimasi simbolik kepada Abdul Wahid; sementara Abdul Wahid memperluas ruang material dan politik bagi nilai-nilai yang diusung oleh UAS. Dalam pandangan Foucault, relasi semacam ini bukan tentang siapa yang “menguasai”, tetapi bagaimana kekuasaan beroperasi dan mengatur perilaku melalui norma, simbol, dan bahasa.
- Agama Sebagai Wacana Disipliner
Foucault menyebut bahwa kekuasaan modern tidak lagi menindas secara terang-terangan, tetapi mendisiplinkan — melalui mekanisme simbolik, pengawasan moral, dan internalisasi nilai. Dalam konteks Riau, agama menjadi perangkat disiplin sosial, dan UAS adalah pengelolanya.
Melalui ceramah, simbol, dan figur keteladanan, ia membentuk cara masyarakat memandang kesalehan, moralitas, dan kepemimpinan. Maka, ketika UAS memberikan dukungan moral kepada seorang calon gubernur, tindakan itu tidak hanya bersifat politik, tetapi juga mendisiplinkan pandangan masyarakat tentang siapa yang pantas memimpin.
Namun di sinilah paradoksnya: kekuasaan yang beroperasi melalui wacana moral juga bisa menutupi praktik kekuasaan yang problematik. Ketika legitimasi keagamaan dijadikan alat politik, maka bahasa moral dapat bertransformasi menjadi alat kuasa.
Dalam istilah Foucault, ini adalah bentuk “regime of truth” — di mana kebenaran tidak lahir dari moral murni, tetapi dari relasi kuasa yang menentukan siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran.
- Korupsi dan Normalisasi Kekuasaan
KPK mungkin menangkap korupsi sebagai pelanggaran hukum, tetapi dari perspektif teori sosial, korupsi juga adalah praktik kekuasaan yang telah menjadi normal. Foucault menyebut bahwa kekuasaan membentuk norma-norma — dan yang berbahaya bukan pelanggaran atas norma, melainkan ketika pelanggaran itu menjadi norma baru.
Dalam konteks ini, ketika elite agama dan elite politik bersekutu, masyarakat sering kali melihatnya sebagai “hal biasa”. Seolah-olah dukungan tokoh agama terhadap politikus adalah keniscayaan moral, padahal di baliknya terjadi pertukaran simbolik:
legitimasi keagamaan ditukar dengan akses politik.
Hubungan antara UAS dan Abdul Wahid menjadi cermin bagaimana kekuasaan modern tidak lagi beroperasi dengan paksaan, melainkan melalui kesediaan masyarakat untuk percaya pada simbol kesalehan — bahkan ketika simbol itu melayani kepentingan politik.
- Pengetahuan, Moral, dan Kekuasaan
Foucault menulis bahwa knowledge is not made for understanding; it is made for cutting.
Pengetahuan — termasuk pengetahuan agama — tidak netral; ia dapat memotong realitas sosial sesuai kepentingan kekuasaan. Dalam hal ini, pengetahuan agama menjadi bagian dari aparatus ideologis, yang memproduksi citra kepemimpinan saleh dan moral.
Sementara itu, tindakan KPK memotong alur wacana itu, membuka ruang baru untuk mempertanyakan kebenaran yang sebelumnya dianggap sakral.
Dengan demikian, kasus OTT ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga pertarungan antara dua rezim pengetahuan:
* rezim pengetahuan keagamaan yang memproduksi moralitas simbolik, dan
* rezim pengetahuan hukum yang memproduksi rasionalitas legal.
Keduanya saling mengawasi, saling mengoreksi, dan pada akhirnya menyingkap kerapuhan legitimasi kekuasaan yang hanya berdiri di atas simbol.
- Penutup: Kekuasaan yang Harus Diwaspadai
Relasi UAS dan Abdul Wahid mengajarkan bahwa kekuasaan tidak pernah berdiri di satu titik, melainkan tersebar dan saling menopang dalam jaringan sosial dan simbolik.
Kita tidak sedang berbicara tentang siapa yang salah, tetapi tentang bagaimana kebenaran dibentuk dan dikendalikan oleh kekuasaan.
Dalam terang Foucault, agama, moral, dan politik di Indonesia tidak bisa dibaca secara terpisah. Ketiganya adalah arena kekuasaan — tempat “kebenaran” diproduksi, dipertukarkan, dan dinormalisasi.
Dan selama wacana keagamaan masih dijadikan alat legitimasi politik, selama itu pula kekuasaan akan terus beroperasi dengan wajah yang moral, namun logika yang penuh kalkulasi.
Maka, mungkin pertanyaan paling penting bukanlah siapa yang korup, tetapi bagaimana masyarakat diajarkan untuk percaya kepada kekuasaan yang tampil dalam wajah kesalehan.
Oleh : Ivan Daifullah (civilsociety)