Oleh : Azmi bin Rozali
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional, mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, pelopor pendidikan yang memuliakan martabat manusia melalui ilmu.
Namun peringatan ini seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan ruang refleksi mendalam: ke manakah arah pendidikan nasional kita di tengah dunia yang berubah begitu cepat?
Teknologi komunikasi digital telah mengubah cara manusia berpikir, belajar, dan hidup. Platform digital menyodorkan informasi dalam kecepatan luar biasa, namun sering meninggalkan kedalaman. Di balik layar yang terang, muncul generasi yang cerdas secara teknis namun gamang secara moral.
Dunia virtual telah menjadi ruang belajar utama, menggantikan ruang kelas, dan bahkan menggeser peran guru. Fenomena ini bukanlah musibah, tetapi peringatan: bahwa pendidikan nasional perlu bertransformasi secara substansial, bukan sekadar kosmetik kurikulum.
Indonesia saat ini memiliki lebih dari 82 juta penduduk usia pendidikan (5–24 tahun). Mereka adalah masa depan bangsa, sekaligus kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan zaman. Di sisi lain, lebih dari 2,9 juta warga Indonesia masih buta huruf, terutama di wilayah timur dan pedalaman.
Ini ironi besar: di satu sisi anak-anak terhubung dengan dunia lewat teknologi mutakhir, di sisi lain masih ada saudara-saudara kita yang belum mengenal huruf.
Ketimpangan ini bukan sekadar soal akses, tetapi cerminan kegagalan dalam menyeimbangkan arah. Kita terlalu sibuk mengejar kecanggihan, namun lalai menumbuhkan kebijaksanaan.
Pendidikan terlalu lama diposisikan sebagai instrumen ekonomi semata, bukan sebagai ruang pemanusiaan. Padahal, dunia hari ini bukan hanya menuntut manusia yang pintar, melainkan manusia yang tangguh, berkarakter, dan tahu kemana akan melangkah.
Generasi muda perlu dipersiapkan untuk hidup di dunia yang tidak pasti. Kecakapan digital memang penting, namun tidak cukup. Mereka butuh akar—pijakan nilai yang membimbing saat kompas moral global kehilangan arah.
Di sinilah pentingnya budaya Timur dan nilai-nilai wahyu yang religius sebagai fondasi. Kita tidak boleh mendidik anak-anak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga menjadi manusia yang tetap tahu malu, menghormati orang tua, dan mengabdi pada kebaikan.
Pendidikan nasional harus menjadi arena perjumpaan antara kecanggihan dan kearifan. Antara inovasi dan nilai-nilai spiritual. Antara kemajuan dan budaya luhur.
Di sinilah peran besar pemimpin bangsa: bukan hanya mempersiapkan generasi yang kompeten, tetapi juga membimbing agar mereka tidak tersesat dalam kebisingan zaman. Pemimpin yang baik bukan hanya pembuat kebijakan, tetapi penjaga arah. Ia harus menjawab zaman, tanpa menjual jati diri.
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Kalimat ini tak lekang oleh waktu. Seorang pemimpin harus menjadi teladan, pencipta semangat, sekaligus pemberi dorongan.
Dalam konteks hari ini, kepemimpinan pendidikan harus hadir dalam tiga ruang sekaligus: di depan, dengan visi yang menjangkau masa depan; di tengah, dengan semangat kolaboratif; dan di belakang, dengan kepercayaan pada anak muda untuk tumbuh sesuai zamannya.
Maka, sekolah masa depan tidak bisa hanya diisi mesin dan jaringan internet. Ia harus juga menjadi rumah nilai: tempat anak-anak mempelajari Al-Qur’an dan filsafat; tempat mereka berdiskusi tentang algoritma dan hakikat hidup; tempat yang mengasah kecerdasan sekaligus menumbuhkan kasih sayang. Ruang belajar yang merangsang imajinasi sekaligus membentuk karakter.
Pendidikan harus mengajarkan manusia bagaimana menjadi manusia. Teknologi tidak bisa menggantikan empati, kesabaran, atau cinta kasih. Dunia boleh berubah, tetapi hakikat manusia tetaplah sama: makhluk pencari makna. Pendidikanlah yang membimbing pencarian itu, agar tidak terjebak dalam labirin kemajuan yang tanpa tujuan.
Hari Pendidikan Nasional 2025 harus menjadi momentum korektif. Sudah waktunya kita tidak lagi mengejar kecanggihan semata, tetapi mulai membangun peradaban.
Kita harus menanamkan hikmat dalam setiap kurikulum, setiap ruang kelas, setiap percakapan antara guru dan murid. Karena hanya bangsa yang menanam nilai, yang kelak menuai masa depan yang beradab. ***
Penulis adalah coach dan peranan nasional, pernah tiga periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis 2004-2019.