Oleh: Alif Bintang
Penangkapan Gubernur Riau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggemparkan publik. Riau, yang dikenal sebagai bumi melayu yang bermarkas dan bermartabat, kini lagi-lagi tercoreng oleh kasus rasuah di level tertinggi pemerintahan daerah.
Ironisnya, ini bukan kali pertama. Tiga gubernur Riau sebelumnya juga berakhir di meja hijau dengan tuduhan serupa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa korupsi kepala daerah seolah menjadi pola yang berulang, dan bagaimana cara menghentikannya?
Kekuasaan dan Godaan Politik Uang
Kepala daerah memiliki posisi strategis dalam menentukan arah pembangunan, perizinan, dan pengelolaan anggaran. Namun posisi ini juga menempatkan mereka pada pusaran kepentingan politik dan ekonomi yang kerap tumpang tindih. Banyak kepala daerah tersandera oleh politik balas budi kepada para penyandang dana kampanye, sehingga kebijakan publik sering dikompromikan demi kepentingan kelompok tertentu.
Sementara itu, sistem pengawasan internal di daerah sering kali hanya formalitas. Inspektorat daerah masih lemah secara struktur dan wewenang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang seharusnya menjadi pengawas, justru kerap ikut terlibat dalam praktik “kongkalikong” anggaran. Dalam kondisi seperti ini, kepala daerah yang memiliki niat baik pun dapat tergelincir dalam sistem yang tidak sehat.
KPK memang terus bekerja keras menegakkan hukum. Namun, sebagaimana sering dikritik banyak pakar tata kelola pemerintahan, penegakan hukum tidak akan efektif tanpa reformasi sistemik dalam tata kelola pemerintahan daerah. Korupsi tidak lahir dari niat jahat semata, tapi juga dari sistem yang membuka peluang untuk disalahgunakan.
Penangkapan kepala daerah oleh KPK memang menjadi simbol kehadiran negara dalam menegakkan hukum. Tapi jika pola yang sama terus terulang, ini pertanda bahwa kita baru mengobati gejala, belum menyembuhkan penyakit.
Lantas upaya apa yang harus dilakukan untuk terus meminimalisir kasus-kasus korupsi kepala daerah? Ada beberapa langkah nyata yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai korupsi kepala daerah:
Pertama, digitalisasi Pengelolaan Keuangan Daerah. Semua proses pengadaan, perizinan, dan realisasi anggaran harus dilakukan secara digital dan terbuka untuk publik. Sistem seperti e-budgeting, e-planning, dan e-procurement perlu disempurnakan dengan sistem audit berbasis AI untuk mendeteksi pola transaksi mencurigakan secara otomatis.
Kedua, penguatan Inspektorat dan Pengawasan Independen. Inspektorat daerah perlu diberi otonomi dan perlindungan hukum yang kuat, tidak berada di bawah kendali langsung kepala daerah. Bahkan, pembentukan Provincial Integrity Unit yang bekerja sama dengan BPKP dan KPK bisa menjadi langkah inovatif untuk memperkuat pengawasan.
Ketiga, reformasi Pendanaan Politik. Negara perlu menyediakan subsidi kampanye politik yang transparan agar calon kepala daerah tidak tergantung pada cukong atau sponsor bisnis. Sistem politik yang bersih harus dimulai dari sumber dan mekanisme pendanaannya.
Kelima, pendidikan Etika dan Integritas bagi Pejabat Publik. Integritas tidak bisa dibentuk hanya lewat hukum, tetapi lewat budaya. Setiap calon kepala daerah dan pejabat publik harus menjalani integrity training dan tes psikologi kepemimpinan antikorupsi yang diselenggarakan oleh lembaga independen.
Keenam, keterlibatan Publik dan Media.
Masyarakat dan media harus menjadi pengawas aktif, bukan sekadar penonton. Jurnalisme investigatif dan partisipasi publik dalam memantau anggaran daerah perlu terus didorong. Pemerintah pusat juga bisa membangun portal keterbukaan data publik yang mudah diakses masyarakat.
Korupsi kepala daerah bukan sekadar kejahatan individual, melainkan krisis integritas sistemik. Selama rekrutmen politik masih mahal, transparansi belum optimal, dan etika publik belum menjadi budaya, maka operasi tangkap tangan (OTT) hanya akan menjadi ritual tahunan yang berulang.
Kita perlu membangun sistem pemerintahan yang menutup ruang gelap bagi korupsi, bukan sekadar menyalakan lampu sorot setelah kejahatan terjadi. Riau dan banyak daerah lain membutuhkan kepala daerah yang bukan hanya cerdas, tapi juga berani jujur di tengah sistem yang menuntut kompromi. Karena pada akhirnya, pemberantasan korupsi bukan sekadar tugas KPK, tetapi tanggung jawab moral seluruh bangsa.***
Penulis merupakan mahasiswa UMRi