• Tue, Aug 2025

Menyambut TKA: Antara Harapan, Tantangan, dan Solusi Transformasi Evaluasi Pendidikan

Menyambut TKA: Antara Harapan, Tantangan, dan Solusi Transformasi Evaluasi Pendidikan


 Oleh: Fahmi Rahmatan Akbar 

Transformasi pendidikan nasional kini memasuki babak baru. Setelah menghapus Ujian Nasional (UN) dan meluncurkan Asesmen Nasional (AN), pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai bagian dari sistem evaluasi pembelajaran berstandar nasional. Instrumen ini tidak hanya menggantikan model evaluasi sebelumnya, tetapi juga menjadi langkah strategis dalam mewujudkan pendidikan yang adil, objektif, dan berbasis data. 

Kebijakan ini ditegaskan melalui Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 3 Juni 2025. TKA akan diterapkan mulai November 2025 untuk siswa kelas XII SMA/MA/SMK, serta menyusul pada Maret 2026 untuk siswa SD dan SMP (cnnindonesia.com). Pelaksanaannya dilakukan secara daring dan tidak menjadi syarat kelulusan, melainkan alat diagnostik akademik sukarela yang digunakan untuk menilai capaian siswa dan mendukung seleksi jalur prestasi. 
TKA: Instrumen Evaluasi Diagnostik yang Inklusif. 

Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa TKA bertujuan untuk memperoleh informasi capaian akademik murid, memberikan acuan pengendalian mutu pendidikan, serta mendorong pengakuan hasil belajar pendidikan nonformal dan informal (Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025, Pasal 3). Dengan demikian, TKA mencakup peserta dari sekolah formal, program Paket A/B/C, hingga sekolah rumah (homeschooling), menjadikannya sistem evaluasi paling inklusif yang pernah diterapkan (setjen.kemendikdasmen.go.id). 

Soal TKA disusun dengan berorientasi pada kompetensi esensial dan berpola HOTS (Higher Order Thinking Skills), bukan hafalan. Untuk SD dan SMP, mata uji meliputi Bahasa Indonesia dan Matematika, sementara SMA ditambah Bahasa Inggris dan mata pelajaran pilihan (jdih.kemendikdasmen.go.id; pusmendik.kemdikbud.go.id). Hasil TKA berupa nilai dan kategori capaian akan tertuang dalam sertifikat resmi dari Kementerian, yang dapat digunakan sebagai bahan seleksi PPDB, jalur prestasi ke perguruan tinggi, dan kesetaraan antar jalur pendidikan (Permendikdasmen Pasal 13). 

Ambiguitas Status, Kesenjangan Teknis, dan Literasi Publik 


Namun, meskipun dimaksudkan sebagai alat ukur pembelajaran, TKA masih menyimpan sejumlah tantangan kritis yang perlu segera diantisipasi. 

1. “Sukarela” tapi Jadi Penentu Seleksi 
TKA disebut sebagai asesmen sukarela, tetapi hasilnya dijadikan pertimbangan resmi dalam PPDB jalur prestasi dan seleksi masuk perguruan tinggi (melintas.id). Ini memunculkan ambiguitas. Siswa yang tidak mengikuti TKA bisa saja kehilangan peluang dalam jalur akademik strategis, sehingga pada praktiknya, TKA menjadi "wajib secara sosial". 
Jika tidak segera diluruskan, istilah “tidak wajib” bisa menjadi jebakan bagi sekolah, siswa, dan orang tua, yang merasa terpaksa mengikutinya agar tidak tertinggal (gurumerangkum.com). 

2. Ketimpangan Sarana dan Kesiapan Digital 
Menurut regulasi (Pasal 7), pelaksanaan TKA wajib diselenggarakan oleh sekolah yang memiliki komputer, listrik, dan koneksi internet stabil. Bagi sekolah yang belum memenuhi syarat, harus “menginduk” pada sekolah pelaksana. Di daerah 3T, ini menjadi beban logistik dan operasional besar. Ketimpangan infrastruktur bisa menjadikan TKA sebagai pemicu ketidakadilan baru jika tidak diimbangi dengan afirmasi pendanaan (kompas.com). 

3. Minimnya Sosialisasi dan Literasi Publik 
Masih banyak guru dan kepala sekolah yang belum memahami perbedaan antara TKA dan asesmen nasional atau UN. Bahkan sebagian orang tua belum mengerti manfaat hasil TKA, apalagi mekanisme penerbitan sertifikatnya (melintas.id). Jika pemahaman belum merata, potensi penyimpangan pelaksanaan akan tinggi, dan manfaat strategis TKA tidak akan optimal. 

Solusi: Penguatan Sosialisasi, Infrastruktur, dan Harmonisasi Kebijakan 

a. Sosialisasi Masif dan Interaktif 
Kementerian harus meluncurkan kampanye publik secara luas, bukan hanya melalui surat edaran, tapi melalui webinar, pelatihan daring, siaran TV edukatif, dan pendampingan teknis daerah. Materi sosialisasi juga harus menyesuaikan karakteristik tiap wilayah, agar siswa, guru, dan orang tua benar-benar memahami esensi TKA sebagai alat refleksi belajar, bukan tekanan baru. 

b. Penjaminan Akses dan Infrastruktur Merata 
Pelaksanaan TKA akan adil hanya jika seluruh siswa memiliki kesempatan setara untuk mengikutinya. Kemendikdasmen perlu menggandeng Kementerian Kominfo dan pemerintah daerah untuk memastikan jaringan internet tersedia di semua sekolah. Penyediaan laptop, server, dan tenaga proktor/teknisi juga harus menjadi bagian dari dukungan teknis yang terencana (rm.id). 

c. Pertegas Status TKA dan Jalur Alternatif 
Pemerintah perlu mengeluarkan pedoman eksplisit bahwa tidak mengikuti TKA tidak menghalangi siswa mendaftar sekolah lanjutan, selama ada jalur seleksi lainnya. Atau, pemerintah menyediakan jalur afirmasi bagi siswa yang berhalangan ikut TKA karena alasan teknis, geografis, atau disabilitas. 

TKA dalam Arsitektur Pendidikan Nasional 
Meskipun terdapat tantangan, TKA tetap menjadi peluang besar untuk memperkuat ekosistem pendidikan yang berbasis bukti. Dengan data hasil TKA, pemerintah bisa melakukan pemetaan kualitas pendidikan, mengukur efektivitas kurikulum, serta merancang intervensi afirmatif bagi daerah yang tertinggal secara akademik. 

Lebih jauh, TKA juga memperkuat arah reformasi pendidikan nasional, yang sudah digerakkan melalui program Sekolah Penggerak, Kurikulum Merdeka, dan Rapor Pendidikan. Dengan melibatkan kementerian lain (Kemenag, Kominfo, Kemendagri), pemerintah daerah, dan perguruan tinggi, TKA bisa menjadi wujud nyata evaluasi kolaboratif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025 (jdih.kemendikdasmen.go.id). 

Tes Kemampuan Akademik adalah inovasi penting yang membawa semangat pemerataan, objektivitas, dan efisiensi. Namun, seperti kebijakan transformatif lainnya, TKA perlu dikawal secara kritis dan solutif. Keberhasilan TKA tidak diukur dari jumlah siswa yang ikut, melainkan dari bagaimana data hasilnya digunakan untuk membenahi kualitas pendidikan secara menyeluruh. 

TKA bukan alat penyaring, tetapi peta jalan menuju perbaikan pembelajaran. Dengan dukungan kebijakan, infrastruktur, dan pemahaman publik yang baik, TKA akan menjadi cermin sistem pendidikan yang lebih adil, partisipatif, dan berorientasi masa depan. 

Referensi 
https://jdih.kemendikdasmen.go.id 
https://setjen.kemendikdasmen.go.id/app/kemendikdasmen-terbitkan-permendikdasmen-tes-kemampuan-akademik-tka 
https://pusmendik.kemdikbud.go.id/tka/page/news_detail/tes-kemampuan-akademik-info 
https://puslapdik.kemendikdasmen.go.id/melalui-tka-dan-e-rapor-evaluasi-pendidikan-lebih-adil-dan-objektif/ 
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250730025416-20-1256459/mendikdasmen-tes-kemampuan-akademik-siswa-sma-digelar-november 
https://www.melintas.id/news/346360070/memahami-tes-kemampuan-akademik-tka-fungsi-pelaksanaan-dan-jawaban-atas-pertanyaan-umum-dari-berbagai-pihak 
https://rm.id/baca-berita/education/275030/tka-sebagai-pilar-evaluasi-pendidikan-yang-objektif-dan-kolaboratif 
https://www.gurumerangkum.com/2025/07/tes-kemampuan-akademik-tka-berdasarkan.html 
https://www.kompas.com/edu/read/2023/12/12/084516271/asesmen-nasional-dan-pengganti-un 
https://tirto.id/permendikdasmen-tes-kemampuan-akademik-terbit-apa-isinya-hcDC 
https://www.detik.com/edu/sekolah/d-7947604/permendikdasmen-tes-kemampuan-akademik-resmi-terbit-ini-isinya